TERJERAT TAKDIR

Bookmark and Share
“Alahh…yo paling-paling jadi wanita panggilan, dia itu janda muda, masih cantik lagi.” Kata Mas Tekno siang itu, saat aku dari rumah nenek melihat dia dengan beberapa pemuda kampong sedang gadang didepan rumah tetangga.
Bagaikan disengat kalajengking telingaku saat mendengar baru saja diucapkan Mas Tekno. Aku yakin sindiran itu ditujukan padaku. Sebab, tidak ada orang lain yang lewat selain aku. Seketika telingaku langsung panas, merah. Jantungku berdetak geram, ingin melontarkan makian atau kalau perlu aku tonjok aja mukanya. Tapi aku tahan tanganku. Selain itu, dia dalam kondisi mabuk, pikirannya kurang normal akibat pengaruh minuman haram, sehingga bicara tanpa dikontrol.
Dengan menyebut Asma Allah, aku minta kekuatan dariNya. Supaya tegar dan tidak terpancing dengan kata-katanya yang basi. Mas Tekno masih tetangga dengan nenekku, aku dengar dia baru pulang dari Malaysia. Menurut cerita Duwi teman mainku masa kecil, bahwa dia sering jajan. Atau lebih kasarnya beli wanita penghibur. Makanya selama disana dia sering menjumpai wanita Indonesia menjadi pelacur. Sehingga dia mengira bahwa semua wanita yang bekerja diluar negeri sama. Begitu juga penilaiannya tentang yg bekerja di Hongkong.
Dengan kaki kuseret, aku meninggalkan rumah nenek. Aku tetap tersenyum saat berpapasan dengan mereka dan bahkan aku buat secerah mungkin wajahku, meski sedikit aku paksakan. Aku tidak mau terpancing dengan kata-katanya yang bersifat fitnah, tanpa bukti kuat. Hatiku sakit, ingin menjerit tapi imanku masih memberi kesejukan supaya tetap sabar menerima hinaan itu.
“Apakah aku yang salah, bila akhirnya harus menjadi janda?” Mungkin itu pertanyaan yang konyol dan tidak masuk akal. Tidak ada wanita mempunyai cita-cita menjadi janda. Mustahil ada wanita menginginkannya, kecuali ada masalah. Saat masih kecil tidak ada dalam pikiranku kalau ingin menjadi wanita janda.
Semua orang pasti keinginannya sama. Ingin mempunyai suami yang baik dan menjadi wanita terbahagia hidup disambing suami dan anak-anaknya. Tapi semua yang menentukan takdir manusia hanya Allah SWT. Tanpa bisa ditawar atau dihindari. Bahwa manusia boleh berencana tapi Allah yang akan mentukan takdir setiap manusia.
Setiap sujudku, aku selalu memohon diberi kerukunan dan kebahagiaan dalam membangun rumah tangga. Tetapi, takdir hidupku bicara lain, tidak sesuai dengan impian yang selama ini aku idam-idamkan. Akhirnya, aku pasrah dan menerima dengan hati iklas dan merelakan suamiku dalam dekapan wanita lain. Wanita yang kaya dengan sawah dan harta, dan dapat memberi apapun keinginan mertuaku.
Sedangkan aku datang dari keluarga yang berantakan dan miskin. Sehingga kemenangan jatuh pada wanita itu. Padalah aku adalah istrinya yang pertama, sudah tidak ada artiya lagi dimatanya. Seandanya aku adalah binatang kecoak, mungkin sudah akan diinjak-injak hingga mampus dengan penderitaan. Ya, penderitaan yang kurasakan ciptakan rasa trauma dan luntur rasa percaya diriku.
Saat mendengar kalau suamiku menikah lagi, bagai godam menghancurkan rasa cintaku yang selama ini aku jaga. Saat itu juga rasa cintaku luntur bersamaan dengan pisau operasi membelah perutku untuk mengeluarkan bayi darah dagingnya yang disia-siakan. Badanku lemas, seolah aku berada dialam lain. Pikiran tidak dapat bekerja. Berhenti sulit untuk memperkirakan apa yang sudah terjadi dalam hidupku.
Bayangan indah saat masih bersama seolah menari diatas kepala mengucapkan selamat tinggal. Pergi membawa kenangan manis yang pernah kita ukir bersama. Semua sudah berlalu, seakan tidak terjadi apa-apa. Hanya titik-titik air mata menjadi teman sejati menjalan hidup seorang diri membawa bayi yang masih merah dalam dekapanku.
Di usia muda aku sudah berstatus janda cerai. Laki-laki yang selama ini aku cintai dan selalu kupuji setiap saat telah menikah lagi dengan perempuan berada. Sangat berbeda dengan aku yang datang dari keluarga miskin, sedangkan kedua orang tuaku berpisah sejak aku masih kecil. Kini, aku harus juga mengalami yang sama seperti mereka, meskipun versinya berbeda.
Sebelum suamiku meninggalkan aku, ibu mertua memberikan dua pilihan pada Mas Tony, nama suamiku. Pertama, bila tetap memilih aku, Mas Tony tidak akan diakui menjadi anaknya lagi. Sedangkan yang kedua, akan diterima menjadi anaknya lagi bila meninggalkan aku. Sedangkan saat itu, kami baru pulang dari Pulau Ambon yang mengalami kerusuhan. Bisa dibayangkan, pulang dalam keadaan hamil dan Mas Tony tidak mempunyai uang. Akhirnya terhimpitnya keadaan Mas Tony meninggalkan aku begitu saja tanpa berpikir panjang lagi.
Saat keluargaku memberitahu kalau aku akan menjalani operasi kepada keluarga Mas Tony, mereka tidak mau tahu. Bahkan mereka tidak mau mengakui kalau aku mantunya, begitu juga bayi yang aku kandung Ibu mertua tidak mau mengakui sebagai cucunya.
Aku tidak sanggup berbuat apa-apa terhadap keluarga suamiku. Karena mereka tidak mau tahu dengan keadaanku yang sedang mengandung darah dagingnya. Bukan tidak berani, tapi ada dalam pikiranku hanya kesehatan anak dalam kandunganku. Begitu juga, dokter menyarankan aku untuk tidak mikir macam-macam demi keselamatan bayi.
Waktu itu, ada dalam pikiranku hanya bagaimana cara aku memberi kehidupan pada anak tanpa suami disampingku. Menyiapkan diri menjadi orang tua tunggal, aku tetap harus siap meskipun bekerja banting tulang sendiri. Hanya beban hinaan masyarakat yang membuat hati terasa pilu dan teriris.
Pertama masa kesendirianku yaitu pertama menjanda, aku tidak begitu banyak masalah. Sebab, setelah perpisahan itu aku langsung pergi ke PT tempat penampungan yang mau bekerja menjadi TKW. Semua berjalan biasa saja, kalau ingat suami dan anak pasti itu terjadi. Tapi tidak membuatku larut dalam kesedihan, sebab hutang biaya operasi dan susu buat anakku sudah menunggu uluran tanganku.
Seandainya aku lebih dulu tahu akan terjadi perpisahan ini, mungkin aku tidak akan menikah dengannya. Aku akan memilih laki-laki lain yang dapat diajak membangun rumah tangga dunia akhirat. Tetapi, semua takdir sudah menjadi kehendak pencipta. Aku hanya mengikuti perputaran roda dunia.
Keinginan untuk menikah lagi sangat jauh dalam impian. Rasa kecewa dan sakit hati masih membekas, begitu sulit untuk dilupakan. Seakan akan selalu membekas bersama bekas jahitan operasi kelahiran. Seakan aku menilai kalau semua laki-laki sama, tidak ada rasa tanggung jawab dan tidak punya perasaan lagi terhadap wanita.
Kini hidupku seperti bunga layu, tidak mungkin kembali segar. Dunia seperti sempit, pergi kesana-kemari orang-orang seakan tahu kalau aku seorang wanita janda yang siap menjadi santapan birahinya. Siap disingkirkan karena dianggap rendah dan tidak ada harga diri lagi. Seolah dunia tidak menerima wanita berstatus janda. Semua ibu-ibu akan berhati-hati dengan suaminya atau anak laki-lakinya yang sudah dewasa.
Aku merasa tidak ada tempat bagiku untuk berlindung, selain kepada Allah. Tapi semua juga butuh ketegaran dan kesabaran yang tinggi. Memang, masih ada orang yang tidak memandang rendah wanita janda, tapi itu bisa dihitung dengan jari. Mungkin hanya beberapa orang saja, itupun kadang baik diluar saja.
Semenjak kejadian dirumah nenek, aku penuh hati-hati. Kata-kata itu akan aku ingat, jadikan surport bagi diriku jangan sampai putus asa ataupun frustasi. Keinginan untuk membuktikan pada masyarakat, bahwa tidak semua wanita yang berstatus janda, pada akhirnya akan menjadi wanita nakal. Semua orang mempunyai pola pikir berbeda-beda dan mempunyai tujuan hidup yang berbeda pula.
Tiga tahun aku di Hngkong, meskipun berstatus janda belum penah mendengar ada sindiran atau hinaan dari masyarakat yang ada. Penduduk Hongkong tidak memandang dari segi status, tetapi dari segi kejujurannya. Ini pertama cuti, dan langsung mendapat sindiran yang membuat telinga merah seperti api. Aku menatap kampong kelahiranku biasa, tidak ada perubahan. Kalaupun ada perubahan rumah yang semakin bagus-bagus, meskipun masih ada rumah lama tidak ada perubahannya.
Tetapi mereka memandangku tampak asing, seolah memandang barang antic yang siap ditawar. “Begitu kejamkah, kampungku?” pertanyaan yang menusuk-nusuk perasaanku. Begitu asing, aku menyapa mereka. Seperti ku meninggalkannya bertahun-tahun lamanya, sehingga keakraban yang dahulu telah luntur dimakan waktu.
Pagi yang cerah. Semua kemelut sudah hilang dari ingatan. Hari ini program selanjutnya menepati janji dengan teman satu sekolahan dulu. Dia biasa aku panggil Mas Mansyah, nama itu kuambil dari nama belakangnya dia. Janji mau berkenalan dengan kedua orang tuanya. Ini pertama selama aku menyandang janda akan berkenalan dengan orang tua seorang laki-laki bertujuan minta restu dengan hubungan teman menjadi hubungan yang halal.
Meskipun dengan hati was-was, aku tetap berani. Apapun yang akan terjadi semua sudah atas kehendak Allah. Sekalipun akan mendapat hinaan lagi dengan statusku, aku akan tetap tabah dan sabar, ini tekatku karena semua aku anggap sustu perjuangan untuk masa depanku dan anakku. Sebab, tidak selamanya aku akan tetap hidup menjanda tanpa suamidisampingku.
Hari minggu, hari yang bersejarah. Bertemu dengan kedua orang tua Mas Mansyah, saat diperjalanan hanya dendang-dendang doa yang melantun dalam hati. Aku usir rasa minder dan takut untuk pergi jauh dalam hatiku. Kubayangkan bagaimana dahulu Siti Khadijah bertemu Nabi Muhammad. Hanya mereka nabi yang aku cintai dan aku ikuti ajarannya.
Tepat didepan rumahnya, aku berdoa dalam hati. Dengan kerendahan hati mengucap salam kepada seluruh keluarganya yang ada. “Hmmm… sambutan yang sangat hangat.” Batinku saat bertemu ibunya dengan senyum manis selalu menghias wajahnya. Tapi ayahnya, sungguh wajah yang suran seolah ada beban hidup. Yah, beban bathin karena sakitnya yang berkepanjangan. Tapi, Mas Mansyah pernah cerita kalau ayahnya ego nya besar.
Beberapa menit aku termangu oleh pemandangan keadaan rumah yang besar tapi kosong tanpa ada perabotan apa-apa kecuali dua almari pakaian dekat TV duapuluh lima inc dan almari kaca atau estalase untuk tempat dagangan bahan pokok makanan. “Oh, Astoqfirullah…. Kenapa aku begitu mengecam keadaan keluarganya.” Iqstihfarku dalam hati.
Beberapa menit kemudian, aku diinterogasi tentang keluarga dan tentang diriku sendiri. Aku ibarat tahanan yang sedang diwawancarai seorang polisi atas perbuatan jahatku. Semua aku ceritakan sedetail mungkin pada keluarganya. Tanpa ada rasa takut atau malu, karena aku sudah iklas dengan apa yang akan terjadi, meskipun nada hinaan sepahit apapun.
Tidak berapa lama, saat aku permisi ke kamar mandi. Aku mendengar dari luar kamar, Ibu Sri Murdyah bicara dengan Mas Mansyah. “Apa tidak ada wanita lain, kok milih yang janda.” Kata Ibu Sri Murdyah dengan suara samar.
Mukaku terasa panas seketika. Dadaku terasa sesak sangat berat untuk bernafas. Segera aku pergi meninggalkan tempat itu, suapaya mereka tidak mengetahui posisiku. Sedangkan mataku seketika berkaca-kaca, bendungan siap mengeluarkan air mata, tapi aku berusaha untuk menahannya supaya tidak meluap. “Yah, aku tidak boleh nangis karena aku bukan anak kecil lagi.”tekatku. Aku berusaha tersenyum saat sampai di ruang tamu bertemu ayahnya Mas Mansyah.
Seketika kepalaku pusing tidak dapat bekerja lagi, semua yang dibicarakan ayah Mas Mansyah tidak masuk dalam pikiranku. Dua kali aku menerima kenyataan pahit yang sama, semua berhubungan dengan statusku. Sungguh, aku tak sanggup menerima kenyataan ini, impianku untuk bertengger di dermaga telah pupus dimakan takdir. Kenyataan pahit telah melahap langkah kehidupanku.
Kini tinggal kenangan pahit yang tampak. Pernikahan tanpa restu, tidak mungkin terjadi lagi dalam hidupku, cukup sekali saja. Itu tekatku yang harus aku pegang. Yah, aku tidak mungkin mengulangi lagi kejadian masa silamku. Karena bila aku salah mengambil keputusan lagi, hidupku semakin suram, bahkan mungkin akan jauh dari kebahagian yang aku impikan.
Dengan perasaan perih, aku mohon diri pamit pulang. Aku ingin meluapkan semua apa yang sudah mengganjal, dadaku sesak sulit bernafas. Sedangkan air mata sudah mulai meleleh pelan bekaskan aliran dipipi. Panggilan Mas Mansyah tidak aku hiraukan lagi, semua anggota tubuhku terasa tidak dapat bekerja lagi. dipikiranku hanya keinginan untuk menjauh, sejauh mungkin.
Impian gagal. Sudah tidak ada harapan lagi untuk menjadi kenyataan. Sepahitnya empedu masih pahit kenyataan hidupku, hingga kelelahan sendiri. Kegagalan demi kegagalan telah menghandang perjalananku. Seakan aku tidak diijinkan meneguk kebahagiaan. Kebahagiaan hidup bersama laki-laki sebagai peindung jiwa.
Semua pupus. Hanya anak semata wayangku yang dapat memberi kebahagiaan yang abadi. Kini luka itu tergores lagi, tergores dengan pisau egonya orang-orang kaya. Seakan janda ada virus penyakit yang harus dijauhi. Seakan tidak mendapat tempat di hati ibunya.
Dengan semua itu, pikiranku semakin sadar. Bahwa takdir jodoh sudah ada yang menentukannya. Semua perjalanan hidupku sudah menjadi takdirNya. Aku hanya bisa menjalani dan mengambil hikmah dengan apa yang sudah terjadi. Masa depan ada ditangan genggamanku, hanya aku yang akan mengepresikan menjadi kehidupan nyata.
Sesamapai rumah, aku langsung bersimbah sujut menghadap kepadaNya. Untuk memohon ampun segala khilaf dan kesalahan yang hanya menuruti nafsu saja. Dan dengan kejadian itu kini aku tersandar dan merasa bersalah. Akhirnya tekat mencari masa depan yang menjadi perjalanan utama. Semua itu membuat aku tersadar dari bangun, bahwa dia bukanlah terbaik untukku. Karena semua manusia terjerat takdir sejak satu bulan dalam kandungan.
Central – HK 09 ( hasil wawancara )


{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar