Bruukk!! Sebeeelll….!!!”
Semua penghuni di bawah tenda putih victory park serempak memandang arah suara. Dari suaranya jelas milik Tina, sahabatku yang aku kenal tahun lalu saat sama-sama masih kerja di daerah Shatin. Sambil bibirnya komat-makit tangannya sibuk mengobok-obok dalam tasnya. Persis anak kecil sedang mencari permennya yang hilang. Melihat sahabatku seperti itu, aku segera mendekatinya.
“Kamu kenapa, sih?” tanyaku. Yang ditanya cuma manyun. “Ditanya, kok diam aja. Ya sudah, aku nggak mau peduli, nih!” ancamku.
“Eh...! Jangan. Plis, aku butuh teman untuk curhat, nih! Aku lagi gondok!”
“Gondok ya gondok. Tapi khan tidak kayak gitu, malu tahu.” Lihat wajahmu kusut dan saat kamu banting tas semua teman kaget, dikira kamu marah sama mereka.”
Aku tatap wajah Tina dalam-dalam, seolah ada beban yang menghimpit hatinya. Ingin aku tanya dengan masalah yang dihadapi, tapi aku ragu dan takut dianggap serba ingin tahu. Lebih baik menunggu dia cerita sendiri. Aku kenal betul sifatnya, jadi tidak akan lama pasti cerita mengalir seperti air mengalir dari sungai.
“Aku sebel dengan sikapnya padaku. Emangnya aku siapa, kok brani-braninya menyuruh aku kirim uang untuknya. Dasar laki-laki tidak tahu diri..!” keluh Tina sambil tangannya trus benahi jilbabnya.
“Kamu tuh marah sama siapa? Tahu-tahu marah pada orang tidak jelas siapa, aku tidak paham siapa tuh laki-laki yang kamu maksudkan,” kataku.
“Pokoknya ada, deh. Kamu tidak kenal dia, tapi aku kenal dekat sekali. Bahkan dia sekarang sedang bersemayan dalam hatiku.” Penjelasannya dengan tangan tetap trus merapikan jilbabnya di depan cermin kecil.
Aku diam. Pasti gara-gara cowok yang baru dikenal beberapa bulan lalu. Walaupun dia tidak menyebutkan siapa nama cowok itu, tetapi aku sudah paham dengan keluh kesahnya baru terucap. Kejadian ini tidak hanya sekali dua kali tapi berkali-kali sudah aku ingatkan. Tapi kalau belum merasakan akibatnya sendiri pasti tidak akan percaya.
“Aduhhh….! Kok malah bengong, sih? Memangnya lagi mikir apa.” Tanyanya. Dengan matanya yang bulat terus menatap padaku, bikin aku semakin gemes. Kalau anak kecil pasti pipinya sudah jadi sasaran empuk untuk aku cubitin.
“Sudahlah. Lebih baik kamu sekarang konsentrasi belajar nulis dan kerja aja, deh.” Kataku dengan pandangan terus pada layar monitor computer.
“Iiiiih….kamu! Eh, ngomong-ngomong kamu pernah tidak pacaran sampai bisa pergi duaan. Maksudku nonton film, makan malam bareng atau sekedar jalan-jalan.”
“Emang kenapa ? Kayaknya sulit aku melakukan hal gituan. Ada juga rasa keinginan untuk jalan sama cowok saat masih sekolah, tetapi segera aku buang jauh-jauh dari pikiranku.” Jawabku. Kutatap lekat-lekat wajah temanku, bahkan dudukpun harus aku geser kedia 90% supaya dapat mencari sesuatu disudut matanya dengan baru saja ditanyakannya.
“Aduhhh… Neng? Kok malah menatap aku kayak gitu, sih. Emang ada yang aneh, yah.” Jawabnya sewot sambil tangannya melempar tissu padaku.
Aku kembali berpaling menatap monitor. Walaupun aku tidak dapat menyembunyikan rasa gugupku saat dilempar tissue. Kejadian seperti ini entah berapa kali dialami temanku, tetapi tidak kapok sama sekali. Sedangkan aku perasaan terluka masih ada sampai sekarang hingga dikejar rasa trauma.
“Melamun nih, ye… apa sih yang membuat kamu kayakm gini? Jangan-jangan kamu sudah pernah mengalami kejadian yang sama denganku, ya.”
“Enggak, kok. Kalau putus cinta sih pernah. Tapi cowokku belum pernah minta uang ke aku. Bahkan dia sering membelikan hadiah padaku. Ah, sudahlah lupakan. Kita bicara topic lain aja, deh.” Kulirik temanku dia bengong diam membisu seolah tidak dengar apa yang baru saja aku ucapkan.
Bayangan masa lalu kembali menari di depan mata. Seolah kembali merekam dalam ingatanku saat ini. Kenangan pahit masa silam selalu hadir kapan saja, tidak mau pergi dalam ingatanku yang sudah Sembilan tahun. Bayangan itu selalu mengikuti kemana langkahku pergi, seperti berat meninggalkan kehidupanku kini. Kenangan semasa aku masih sekolah dibangku SMA terbagus di kota aku lahir dan besar.
Saat itu aku baru kenaikan kelas dua, dan juga baru selesei mengikuti pelantikan bantara. Peserta pelantikan dari beberapa jurusan jadi kesempatan dapat kenalan dengan jurusan lain. Selesei pelantikan, aku semakin banyak teman dari sekolah lain. Selain itu, aku orangnya mudah gaul dan suka humor jadi tidak sulit untuk beradaptasi dengan mereka. Tapi nenek tidak suka aku mempunyai teman laki-laki.
“Ingat pesan nenek, kalian tidak boleh terima tamu laki-laki siapapun. Kalau ada tamu laki-laki tidak boleh lama dan dia datang harus ada keperluannya. Kalau sekedar ngobrol tidak aku ijinkan. Jangan dilanggar pesan satu ini!” pesan nenekku saat itu hingga kini terekam dalam memory ingatanku.
Peraturan ketat bikin aku lebih banyak di rumah. Kegiatan kampung karang taruna atau arisan kaum remaja tidak pernah mengikuti, akibatnya aku tidak kenal teman sebayaku. Pernah dimintai bantuan jadi penerim tamu tetangga, kebetulan mempunyai hajat pernikahan. Saat itu penerima tamunya gabungan dari karang taruna beberapa RT jadi satu. Sedangkan aku dan kakak keponakan tidak pernah ikut perkumpulan itu, hingga saat mulai pelaksanaannya kita terasa asing dengan mereka.
Akhirnya kita harus saling kenalan dengan mereka sambil melaksanakan tugas sebagai terima tamu, mempelajari karakter-karakter mereka satu persatu tidak mudah.
“Eh, Mbak namanya siapa? Apakah kamu penduduk baru ya di desa ini?” Tanya salah satu meraka.
“Nggak kok, aku lahir disini dan besar juga dikampung ini. Tapi aku jarang keluar rumah sebab membantu nenekku di pasar,” jawab kakakku berbohong.
Semenjak kejadian itu, aku berontak pada sikap nenekku yang otoriter. Tapi justru ancamannya semakin ketat sampai aku tidak bisa bergerak bebas diluar rumah. Bahkan, ada rencana mengirimku tinggal di asrama putri kota Magelang. Tetap ikut peraturan nenek cara aman supaya dapat berteman dengan siapa saja di sekolahan. Walaupun kadang aku maupun kakak keponakanku sering berbohong pada nenek bila pulang terlambat. Banyak sekali alasan dibuat-buat, bila ingin jalan-jalan ke mall bersama teman sekolah.
Gara-gara nenek, aku kehilangan sahabat dekatku Hendra. Entah, sekarang ada dimana. Terakhir bertemu selesei ujian semester akhir kelas dua, setelah itu dia enah pindah sekolah dimana. Kepergiannya membuatku kehilangan harapan, sebab dia laki-laki yang baik, sopan dan mengerti perasaanku yang tertekan. Tapi semua kini tinggal kenangan. Yah, kenangan yang tak mungkin kembali diulang, bertemu kembali dengannya hal yang mustahil.
“Eeiiittt..! Kok melamun, sih.” Suara Tina membuat aku tergagap kaget.
“Kamu lagi nglamunin pacar, ya. Atau mungkin lagi teringat masa-masa manis bersama pacar. Aduhhh.. cerita donggg…” rengek Tina kayak anak kecil sambil menggoyang-goyangkan tanganku.
“Enggak. Aku hanya ingat masa sekolah dulu. Aku belum pernah pacaran atau pergi berduaan dengan laki-laki kayak kamu.
“Masak, aduhhh. Berarti kamu belum pernah merasakan ciuman, ya.” Celotehnya lagi.
Aku tinggalkan Tina yang masih bengong. Aku hafal dengan kebiasaannya yang tidak pernah berubah. Putus satu tumbuh seribu itu yang selalu dikatakan bila sedang putus cinta. Tidak merasa trauma atau kapok pacaran, putus cinta dianggap hal bisa. Tapi aku teman curhatnya merasa kasihan dengan apa yang lakukan. Aku juga tidak tahu siapa menjadi pendamping hidup kelak, semua diatas segala penentu.
Hari ini tidak seperti minggu biasanya, lapangan victory tampak sepi. Mungkin banyak mengikuti pengajian, biasa diadakan salah satu organisasi di Hong Kong. Atau mungkin tidak libur, biasa minggu ke dua banyak tidak ambil libur. Sudah empat tahun aku bekerja di rumah majikanku, tiap minggu dapat libur. Aku termasuk sebagian BMI dapat nasib baik, sedangkan masih banyak BMI yang tidak dapat majikan baik.
Matahari sudah diatas kepala, sebentar lagi sudah dhuhur. Kupercepat langkahku menuju mushola KJRI untuk sholat disana. Hari ini aku tidak banyak janji dengan teman, hanya janji dengan teman dari PT dulu. Masih ada waktu untuk santai didepan computer bontotku yang kubeli dengan harga murah. Tidak apa, yang penting bisa untuk belajar nulis dan belajar mengoperasikan computer.
“Hai…. Tari..! suara memanggil namaku entah dari arah mana. Aku mencari arah datangnya suara. Dari suaranya, aku pernah kenal, tapi entah siapa namanya.
“Aduhh… tambah cantik aja. Pakai jilbab lagi, wah.. semakin ok.” Kata wanita yang sudah ada didepanku sambil mengulurkan tangannya.
“Hmmm siapa, ya. Maaf aku lupa.” Jawabku sambil terus mengingat-ingat.
“Aiihh.. aku Umi. Sekolah kita khan satu yayasan di Gamaliel. Kamu di STM sedangkan aku di SMEA, waktu pelantikan bantara kita bareng.” Jawabnya nyerocos.
“Oh, iya..ya… aku ingat sekarang. Kamu Umi kost di perumahan dekat STM Gamaliel khan. Kok, sampai disini juga, sih.
“Iya, aku sudah dua tahun di Hong Kong. Tapi aku jarang datang kesini, sebab aku tinggal di Yuen Long.
Diluar rencana akan bertemu teman sekolah dulu. Aku senang bertemu teman lamaku untuk mengenang masa-masa masih sekolah dulu. Yah, masa-masa indah bersama-sama teman pramuka naik ke puncak. Jadi tambah teman lagi untuk saling curhat atau sekedar ngobrol.
“Tari, kamu mau kemana? Boleh tidak aku ikut kamu, sebab aku tidak punya teman, nih.
“Boleh. Kebetulan aku juga sendiri, tadi dengan teman sekarang dia sedang duduk di tenda putih sana. Sambil tanganku menuding arah tenda putih.
Kami melangkah ke KJRI untuk sholat kemudian makan siang di warung malang. Sesuai niatku sebelum bertemu teman sekolah. Diam-diam aku melirik Umi yang sedang jalan disampingku. Ada guratan sedih dan luka disorot matanya yang bening. Tapi itu hanya dugaanku, sebab kulihat wajahnya ceria tapi matanya seolah menyimpan luka.
“Anak kamu berapa?” tanyanya bikin aku kaget. Aku tersenyum untuk menyembunyikan rasa kagetku karena terus memandang ke dia.
“Nikah aja belum, kok punya anak. Kalau kamu gimana, sudah punya belum?”kataku balik Tanya ke dia. Sambil terus memandangnya untuk mencari jawaban.
“Aku sudah punya satu, tapi rumah tanggaku sudah tidak utuh lagi. Suamiku telah menikah lagi dengan wanita asli Jakarta yang kaya dan berpendidikan tinggi.” Jawabnya jujur.
“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud mengingatkan masa lalumu.” Jawabku, sambil aku pegang kedua tangannya.
Aku pandang wajah temanku yang tetap ceria dan tegar. Tidak tampak guratan sedih di wajahnya yang putih bersih. Sungguh, dugaanku benar, bahwa dia telah menyimpan luka terpendam. Aku harus jadi temannya yang dapat memberi hiburan. Apalagi di Hong Kong, Negara yang bebas hingga banyak BMI yang tersesat dalam kehidupan salah.
“Aku sudah lupa. Jangan kwatir, aku sudah iklas apa yang terjadi dalam hidupku.” Jawabnya tegar.
Aku rangkul Umi dengan penuh kasih saying. Hanya sekedar member kekuatan dan menyakinkan kalau aku akan selalu menjadi teman baiknya. Sesampai KJRI kita sama-sama masuk dimushola yang sudah penuh teman BMI lainya.
Setelah makan siang, kita habiskan waktu duduk santai di lapangan rumput victory sambil bercerita. Mengenal masa sekolah membuat kita tertawa, hingga lupa kalau siang beranjak pergi ganti sore. Aku dan Umi terus bercanda ria sambil menunggu temanku satu PT yang sudah janjian bertemu sejak hari Jum’at.
Tuttt…tutt…tutt…
Suara Hp-ku berbunyi. Aku langsung mengangkat setelah tahu nama Tanti tertulis dilayar monitor. Tanti teman satu PT yang aku tunggu-tunggu sesuai janji mau bertemu.
“Asslam’ualaikum. Kamu ada dimana, Tari?” suara Tanti dari seberang.
“Walaikum’salam. Biasa, lapangan rumput dekat tempat sampah warna orange. Cepat kesini, ya.” Jawabku lalu aku matikan Hp.
Aku akan kenalkan pada Umi. Supaya Umi tambah teman untuk ngobrol tukar pengelaman selama bekerja di daerah Yuen Long. Tempat yang jauh dari kawasan Causw Bay, tapi menurut ceritanya kalau majikannya akan pindah di daerah Central.
“Hai… tariii..!!” teriak Tanti sambil memelukku dari belakang membuat aku kaget.
“Aduhhh… bikin kaget aja, sih. Mana oleh-olehnya dari China?” tanyaku. Sebab dia dari China bersama majikannya seminggu. Makanya menemuiku hari ini karena punya janji bawakan oleh-oleh serta memberikan barang pesananku.
“Jangan kwatir semua pesananmu ada dan juga oleh-olehmu juga ada.” Jawabnya sambil mencium pipiku.
Tanti teman lama saat di PT dulu. Dia asli orang Cirebon, sedangkan suaminya asli dari Pati jawa tengah. Keberangkatannya ke Hong Kong ingin bantu bayar hutang-hutang suaminya gara-gara usahanya yang bangkrut dan tertipu orang. Tapi walaupun lama kenal, aku belum pernah diperlihatkan foto suami atau anaknya. Bahkan aku juga belum pernah melihat dia ngobrol telepon dengan suaminya.
“Eh, kenalkan ini teman sekolahku dulu.” Kataku sambil memandang Umi yang duduk disampingku.
“Umi, asli dari Ngawi.” Ujar Umi sambil mengulurkan tangan pada Tanti untuk berjabatan. Begitu juga Tanti menerimanya sambil menyebutkan nama dan aslinya.
Kamudian kita bertiga menghabiskan waktu libur dengan ngobrol. Bahkan, kadang terdengar tawa karena kelucuan Umi. Umi anaknya centil dan pandai humor, siapa aja akan senang ngobrol dengannya. Walaupun hidupnya penuh luka, tapi tidak tampak murung di wajahnya.hari-hari penuh ceria menjalani hidup. Aku jadi bangga bertemu dan mempunyai teman Umi dan Tanti yang setia dan saying dengan suaminya.
Jam libur habis. Kita kembali pulang ke rumah majikan masing-masing. Sebelum berpisah, kita bertiga saling tukar nomer telepon supaya dapat saling kontak untuk janjian bertemu lagi. Minggu ini aku bahagia karena bertemu kembali dengan Umi dan temanku Tanti juga mau menerima Umi menjadi temannya juga.
Pertemuan ini diluar rencanaku. Hanya rencananNya terindah, seperti yang aku rasakan sekarang ini. Bertemu dengan teman lama, diluar bayanganku. Minggu ini menjadi kenangan yang tercatat dalam diary harianku. ( Bersambung )
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar