Minyak tidak bisa dipisahkan dengan Balikpapan. Keberadaan kota yang 10 Februari 2002 ini berusia 105 tahun memiliki ikatan sejarah dengan sumur minyak Mathilda, satu dari sembilan sumur produktif yang dibor di kaki Gunung Komendur, sisi timur Teluk Balikpapan.
Keberadaan kota yang membentang sepanjang lebih dari 25 kilometer dari ujung Pulau Tukung di ujung pesisir barat hingga Gunung Tembak dan Kelurahan Aji Raden di pesisir timur itu terus berkembang ke arah barat dan utara. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 500.000 jiwa, Balikpapan kini menjadi kota minyak yang patut diperhitungkan.
Penentuan hari jadi Kota Balikpapan terkait dengan pengeboran pertama sumur minyak di wilayah ini, 10 Februari 1897, atau terpaut sekitar 38 tahun setelah pengeboran minyak bumi komersial pertama di dunia ketika Edwin L Drake dengan perusahaannya Senca Oil Company menemukan minyak di Titusville Amerika. Hasil seminar 1 Desember 1984 menghasilkan lima pilihan untuk menentukan hari jadi kota ini. Pilihan akhir jatuh pada peristiwa pengeboran pertama sumur minyak di lereng Gunung Tukung itu dan kemudian diperkuat dengan SK Wali Kota Balikpapan No 6 tanggal 25 November 1985.
Sumur Mathilda yang dimonumenkan menjadi hari lahirnya Kota Balikpapan itu mencatat produksi minyak yang cukup besar. Menurut Kepala Humas Pertamina Unit Produksi V Balikpapan WF Welan, sebelum ditinggalkan BPM (Bataafshe Petroleum Maatschappij), produksi sumur tersebut secara akumulatif mencapai 620.895 barrel.
Balikpapan dikontrak Belanda pada 1863 dari Kesultanan Kutai dengan Besluit 29 Agustus 1888 yang diperkuat Besluit No 4 tanggal 30 Juni 1891. Kemudian pemerintah Hindia Belanda menunjuk JH Menten dan Firma Samuel & Co sebagai pemenang hak konsesi.
Adams dari Firma Samuel & Co di London yang melakukan penelitian di bagian daratan kaki Gunung Komendur, wilayah teluk hingga Pulau Tukung. Ia menemukan cadangan minyak yang sangat besar. Penemuan ini mendorong pengeboran pertama tanggal 10 Februari 1897, dan menemukan minyak yang cukup komersial hanya pada kedalaman 220 meter. Oleh JH Menten, sumur pengeboran perdana itu diberi nama Mathilda, nama anak Menten yang ada di negeri Belanda.
Pekerjaan JH Menten kemudian diteruskan dengan dibangunnya kilang penyulingan pada 1922 oleh Shell Transport and Trading Company sebelum bergabung dalam Royal Dutch Shell yang juga bernama De Koninklijke Shell dengan kapasitas produksi dengan kapasitas 10.000 barrel per hari. Inilah awal dari ”revolusi” sebuah kota tambang yang menjadi kota industri.
Penggabungan Shell Transport and Trading Company dan Royal Dutch Shell kemudian membuahkan beberapa anak perusahaan di antaranya BPM yang mengusahakan produksi kilang di Balikpapan sejak sekitar tahun 1907. Menten dan perusahaan Shell yang membawa masuk orang Cina dan pekerja kontrak dari Jawa, juga banyak pekerja dari India yang semula dibawa oleh Samuel & Co.
Para pekerja ini kemudian menjadikan asal-usul sebagian warga Balikpapan dari keturunan Cina dan India yang kini cukup besar jumlahnya. Dua desa kecil di Tukung (Klandasan) dan Jumpi (Kampung Baru) merupakan cikal bakal hunian mereka.
Balikpapan pada awalnya adalah desa dagang yang merupakan persinggahan pedagang dari kerajaan Banjar di Banjarmasin yang akan ke berbagai kota di Kalimantan Timur. Pendatang juga singgah di kota ini jika akan menyeberang ke Bone yang merupakan pusat kerajaan di Sulawesi Selatan.
Minyak bumi dari Balikpapan dikenal pedagang jauh sebelum penemuan minyak bumi di Sanga-Sanga. Pedagang Banjar yang datang ke kota ini bukan sekadar menjajakan kain, beras, garam, atau keperluan lainnya, tapi juga mencari minyak tanah yang saat itu disebut ”lantung”, cairan hitam cokelat yang mengalir dipermukaan tanah yang mudah terbakar. Lantung ini berasal dari sebutan bahasa Jawa yang menyebut ”latung” bagi cairan hitam cokelat dari perut bumi dan mudah terbakar sebagai difasihkan masyarakat Ledok di Cepu yang menemukannya tahun 1870.
Sejak tahun 1920-an hingga masuk tahun 1950-an, Balikpapan menjadi kota industri minyak yang semula hanya sebagai kota tambang. Hal ini karena produksi yang dihasilkan meningkat secara bertahap yang semula 10.000 barrel per hari, kemudian 40.000, 50.000, dan 60.000 dengan tiga kilang kecil. Setelah itu, ”revolusi” besar terjadi dengan pengembangan kilang tahun 1982 sehingga produksinya menjadi 260.000 barrel per hari. Dan sekarang ini telah mencapai 86 juta barrel hingga 90,55 barrel per tahun.
”Revolusi” dari kota tambang menjadi kota industri itulah kemudian menjadikan Balikpapan lebih berorientasi pada kota jasa, kota industri, dan kota dagang, sekaligus kota wisata. Efeknya adalah peningkatan jumlah hotel. Sekarang terdapat sekitar 20 hotel melati dan bintang dengan jumlah kamar mencapai 2.500 init . Dari jumlah kamar ini, separonya disiapkan oleh hotel berbintang 3 dan 4.
”Kalau saja kilang minyak Pertamina Balikpapan itu diangkat dari lokasinya sekarang, saya kira Balikpapan tidak menjadi seperti sekarang ini,” kata Wakil Wali Kota HM Mukmin Faisyal SH. Dan tentunya, kemajuan kota yang secara geografis berada di tengah Indonesia ini kelak bisa seperti Singapuranya Indonesia.
Kota yang memiliki luas 503,3 km2 ini bisa menjadi lebih ideal ketimbang Singapura karena memiliki hutan lindung Sungai Wain seluas 10.025 ha, dan hutan lindung Manggar 4.999,9 ha. Apalagi dari kawasan seluas 50.330,57 ha itu baru sekitar 7.000 ha atau 19 persen yang terbangun..
Sarana lainnya yang sangat menunjang Balikpapan sebagai kota jasa, industri, dagang sekaligus wisata adalah adanya bandar udara internasional yang melayani pesawat berbadan lebar. Selain itu, juga terdapat pelabuhan alam Semayang di Teluk Balikpapan yang tidak pernah sepi dengan kapal penumpang dan kapal barang.
Wali Kota Balikpapan H Imdaad Hamid SE lebih cenderung melihat Balikpapan sebagai suatu kota yang berkembang dengan mendekati khas perkembangan Singapura, terutama kilang minyaknya yang menjadikan negara ini sebagai penjual jasa pengolahan minyak di beberapa negara. Jika lapangan minyak yang dikelola Kontraktor Production Shearing (KPS) Pertamina tidak produktif lagi, Balikpapan akan bisa menjadi ”penjual” jasa pengolahan minyak seperti Singapura.
Manajer Umum Pertamina Unit Pengolahan V Kalimantan H Djohar Arifin SE MM sependapat dengan penilaian Wali Kota Balikpapan Imdaad Hamid SE itu. Menurut Djohar Arifin, kilang minyak Balikpapan sekarang ini sudah mengolah minyak mentah dari Nigeria, Arab Saudi, Iran, Irak, Libia, Australia, Malaysia, Brunei, Cina dan Vietnam.
Selain dari luar negeri, kilang Balikpapan juga mengolah minyak mentah dari Sepinggan, Handil, dan Bakapai hasil tambang Unocal, Total FineElf, serta dari Sanga-Sanga, Tarakan, Bunyu, Tanjung yang ditambang oleh Exspan.
Pemberdayaan jasa kilang Balikpapan ini mengacu pada sifat tambang minyak yang ”tidak terbarukan”. Jasa pengolahan yang ditawarkan kilang minyak di sini harganya jauh lebih rendah ketimbang di Singapura. Saat ini, Balikpapan hanya mengutip US$ 1,14 per barrel untuk pengolahan minyak mentah, sedangkan Singapura mematok harga US$ 1,86. Sebelum dilakukan efisiensi, kilang minyak Balikpapan mematok harga US$ 2,16 per barrel.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar