“Dinda, pilih dollar atau pilih keluarga?” Isi SMS suami Maroha dikirim minggu yang lalu. SMS itu masih tersimpan di Hp Maroha. Sengaja tidak dihapus. Sebentar-sebentar dibaca dan dibaca. Sampai hafal diluar kepala.
Semenjak datangnya SMS itu, semangat kerja luntur seketika. Semua serba salah, keinginannya marah dan marah. Selera makan hilang, hingga bandan tinggal tulang. Semua rencananya gagal, karena suaminya tidak merestui nambah kontrak. Padahal sudah sejauh hari sudah merencanakan membeli mobil, dengan adanya mobil semua usahanya akan lancar, pikirnya.
“Ada apa, kok kamu tidak seperti biasanya, punya masalah dengan majikan, ya,” Tanya Fitri teman dekatnya.
“Aku pusinggg… benar-benar pusing dengan sikap Mas Sudarjat.” Keluh Maroha sambil tangannya membanting tas tangannya warna hitam ke tanah beralaskan rumput.
“Lho..! kamu tidak akan lama pulang to, kok ribut ada apa?” tanya Ratna teman satu kampong sambil menggelar tikar.
Maroha diam tidak bergeming. Hiruk biruk lapangan victory semakin kental dengan bahasa asli Indonesia. Bayangan suami dan anaknya menari didepan mata bergantian dengan bayangan mobil yang diimpi-impikan.
Keinginan membeli mobil sudah terpatri sejak awal kotrak kedua, tapi baru rencana kontrak yang ketiga hasil kerjanya akan dibelikan mobil. Tetapi, semua impiannya sirna karena tidak mendapat ijin dari suaminya tercinta. Hatinya seketika mendongkol ingin marah, tapi tak mampu meluapkannya.
“Yunda, aku ingin tambah kontrak lagi. Sebab aku ingin punya mobil kayak Yuli tetanggaku sebelah,” kata Maroha pada Ratna sahabatnya.
“Aduhh… Roha. Untuk apa beli mobil, suami dan anakmu itu lebih penting dari pada mobil, lho. Kasihan mereka Roha, pasti mereka sangat merindukanmu sebagai ibu terutama anakmu. Aku saja ingin cepat pulang, tidak tega membiarkan anakku sendiri.
“Sebenarnya Mas Sudarjat sudah punya usaha sendiri dan hasilnya lumayan. Tapi keinginan beli mobil ini cita-citaku sejak kontrak pertama. Padahal keputusan nambah kontrak lagi atau tidak besok terakhir jatah waktu yang diberikan padaku,” ujar Maroha dengan mata berkaca-kaca bak bendungan telaga mau pecah.
Hatinya Maroha semakin mendongkol. Tidak ada dukungan dari teman-teman dekatnya. Semua berharap dia pulang demi anak dan suami, sedangkan di depan kelopak matanya menari-nari bermacam bentuk dan merk mobil. Tinggal pilih lalu dibayar. “Ah, bayangan mobil itu….
Senin pagi cerah. Awan tersenyum manis memperlihatkan cahayanya. Dengan satu keputusan yang tepat sudah ada di benaknya. Tinggal menunggu hari siang bertemu majikannya. Hatinya semakin dimantapkan. Apapun yang akan terjadi dia siap menghadapinya.
“Aku harus menelepon suamiku dulu. ya, aku harus memdengar suara anak dan suamiku sebelum memneri jawaban pada majikan,” ujarnya bicara pada diri sendiri.
Lima menit kedepan, tangannya sudah menempelkan benda kecil di telingga kanannya menunggu jawaban dari seberang. Hatinya sedikit kesal, karena sudah ditelepon dua kali tidak ada yang mengangkat. Dengan wajah cemberut terus mencoba menekan norumahnya.
Tidak lama kemudian. “Assallamu’alaikum…
“Walaikum salam. Putri, ayah dimana? Tanya dengan suara dilembutkan.
“Ayah lagi cuci mobil.” Jawab Putri anaknya tercinta dengan enteng.
“Mobil..???
“Ayah khan beli mobil baru, buuagus lagi. hmmm… bunda kapan pulang? Tidak ingin naik mobil ama Putri, ya? celoteh anaknya yang tidak sempat didengarnya.
Dada Maroha sesak karena riang, bahagia, terharu dan lain-lain. merasaannya sulit dibayangkan. “Oh, mobil…??? Suamiku sudah punya mobil…?? Yah, aku tidak salah dengan, bahwa suamiku sudah beli mobil. Aku punya mobil… aku punya mobil… aku punya mobil… mobil….!!! Suara it uterus mengalun dari mulut Maroha yang berada dalam kamar kecil dan pengap di rumah sakit jiwa porong.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar