Dalam hal penentuan/penetapan awal dan akhir Ramadhan terdapat beberapa hadist Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda :
« صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ »
“Berpuasalah kalian jika melihat hilal, dan berbukalah kalian jika melihat hilal. dan jika (penglihatan kalian) terhalang oleh mendung, maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangan bulan Sya’ban itu tiga puluh hari” (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah)
Beliau SAW juga bersabda :
وَحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ »
“Berpuasalah kalian jika melihat hilal, dan berbukalah kalian jika melihat hilal, dan jika (penglihatan kalian) terhalang oleh mendung, maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangannya menjadi tiga puluh hari.” (HR. Muslim melalui Abu Hurairah)
Rasulullah SAW juga bersabda :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ »
“Satu bulan ada 29 hari, maka janganlah kalian puasa hingga kalian melihat (hilal). Apabila (penglihatan kalian) terhalang oleh mendung, maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangannya 30 hari.” (HR. Bukhari dari Ibnu Umar)
Beliau SAW juga bersabda:
اِنَّ اللهَ جَعَلَ الْاَهِْلَةَ مَوَاقِيْتً فَإِذَا رَاَيْتُمُوْاهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَاَيْتُمُوْاهُ فَأفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ وَاعْلَمُوْا اَنَّ الْاَشْهَارَ لَاتَزِيْدُ عَلَى ثَلَاثِيْنَ
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan bulat sabit sebagai tanda awal bulan. Jika kalian melihatnya (bulan sabit Ramadhan), berpuasalah. Dan jika kalian melihatnya (bulan sabit Syawal), berbukalah. Apabila penglihatanmu terhalang maka genapkanlah hitungannya menjadi 30 hari. Ketahuilah, setiap bulan tidak pernah lebih dari 30 hari.” (HR. Imam Al Hakim, lihat Mustadrak jilid I hal. 423).
Sementara itu berikut adalah pendapat Imam Mazhab dalam memaknai hadist-hadist Rasulullah SAW tersebut.
“Apabila telah terbukti adanya rukyat disuatu negeri, maka diwajibkan shaum atas seluruh negeri-negeri lain, tanpa mempertimbangkan lagi adanya perbedaan jarak, baik negeri-negeri tersebut dekat ataupun jauh dengan syarat bahwa ru’yat sampai kepada mereka melalui salah satu cara yang mewajibkan shaum sesuai dengan syarat-syarat yang layak dipercaya.
Tidak diperhatikan lagi perbedaan mathla’ (tempat munculnya bulan) sama sekali, hal ini menurut pendapat tiga mazhab (Maliki, Hambali, Hanafi). Adapun pengikut imam Syafi’i berpendapat, apabila telah terbukti ru’yat disuatu tempat, maka daerah-daerah yang berdekatan dengan tempat yang bersangkutan wajib berpuasa berdasarkan bukti tersebut. Jarak yang berdekatan itu dapat diukur/ditentukan dengan mathla’ (lebih kurang dari 24 farsakh atau kurang lebih 120 km). Sedangkan penduduk yang berada di wilayah yang jauh, maka tidak wajib shaum berdasarkan ru’yat, karena perbedaan mathla’. (lihat kitab Al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah jilid I hal. 550).
Menurut Imam Malik, apabila penduduk kota Basyrah (Irak) melihat bulan sabit Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kuffah, Madinah dan Yaman, maka wajib atas kaum muslimin berpuasa berdasarkan ru’yat tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat ( lihat al-Qurthuby, Jilid II hal 296).
Menurut Mazhab Hanafi “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan, begitu pula melihat bulan sabit di siang hari sebelum dhuhur atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini penduduk negeri Timur (dari Madinah) harus mengikuti (ru’yat) kaum muslimin yang ada dibelahan barat (dari Madinah), jika ru’yat mereka dapat diterima” (syah menurut Syara’). (lihat Kitab Ad-Darul Mukhtar wa Raddul Mukhtar, jilid II hal 131-132 dari Imam Hafsaky).
Mazhab Imam Ibnu Hambal menegaskan, apabila ru’yat terbukti disuatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum muslimin harus melakukan puasa Ramadhan (lihat Kitab Mughniyul Muhtaj, Jilid II hal 223-224).
Sebagian pengikut madzhab Maliki seperti Ibnu Al Majizuun menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti ru’yat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti dan diterima oleh imammul ‘adzam (Khalifah). Setelah itu, seluruh kaum muslimin wajib berpuasa, sebab seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan Khalifah berlaku bagi seluruh kaum muslimin” (Nailul Authar, Jilid II hal 218).
Ibnu Umar meriwayatkan “Masyarakat beramai-ramai mencari ru’yat (bulan Ramadhan), lalu aku memberitahukan kepada Rasulullah, bahwa aku telah melihatnya beliau lalu melakukan puasa dan seluruh masyarakat juga melakukannya. (Nailul Authar, Jilid IV hal 209).
Ketentuan Syar’i dalam hadist-hadist diatas ditunjukan bagi seluruh kaum muslimin, tanpa ada perbedaan antara yang tinggal di Irak dengan Syam, Hijaz dan Mesir ataupun Indonesia.
Dalam hadist tersebut Rasulullah SAW menggunakan kata (صُومُوا) Shuumuu dan (أَفْطِرُوا) Aftiruu yaitu menggunakan “wau jama’ah” menunjukan bagi seluruh kaum muslimin. sedangkan kalimat ِ (رُؤْيَتِهُ) ِrukyatuhu adalah ismul jinsi yang dirangkai dengan kata ganti orang ke-3 tunggal artinya rukyatul hilal yang dilakukan oleh siapapun.
Terdapat beberapa hadist yang memperkuat bahwasanya rukyat ditujukan bagi seluruh kaum muslimin. Diantaranya diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seorang (arab) Badwi datang kepada Rasulullah seraya berkata :
“Saya telah melihat hilal, Rasulullah lalu bertanya, “apakah kamu bersedia bersaksi bahwasannya tidak ada Illah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?” ia menjawab : “ya”, kemudian Nabi SAW memerintahkan kami berpuasa”.
Perintah Rasulullah SAW dalam hadist-hadistnya mengenai shaum Ramadhan apabila melihat hilal adalah perintah wajib, karena perintah untuk melaksanakan suatu amal yang bersifat pasti (jazm), sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS 2:185, perintah untuk berbuka (mengakhiri Ramadhan) apabila melihat hilal syawal juga perintah wajib karena Rasulullah SAW melarang berpuasa didua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha.
Hadist-hadist Rasulullah SAW ini secara eksplisit menjadikan bahwa penyebab sah secara syar’i untuk mengawali Ramadhan adalah dengan melihat bulan sabit (ru’yat hilal) Ramadhan dan penyebab sah secara syar’i untuk mengawali Idul Fitri adalah melihat bulan sabit (rukyat hilal) Syawal.
Dengan demikian jelaslah bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan yang syah menurut syara adalah dengan melihat hilal (The First Visible Crescent) atau Rukyatul Hilal. Dimana rukyat hilal atas bulan Ramadhan maupun syawal oleh seorang muslim mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk berpuasa atau berbuka (Idul Fitri).
Rukyat Lokal atau Rukyat Global?
Dalam kaitannya dengan perbedaan antar daerah dimana hilal terlihat (muncul) pada waktu tertentu (Ikhtilaf al mathaali’) yang digunakan sebagian orang sebagai hujjah maka sebenarnya hal ini adalah bagian dari pemahaman atas fakta (tahqiqul manath) atau bagian dari manathul hukmi yaitu fakta yang kepadanya diperlukan solusi hukum Syara’. Dalam hal ini maka yang diperlukan tidak hanya terpaku pada nash-nash yang ada tapi diperlukan juga pengetahuan yang mendalam tentang realitas dari fakta tersebut.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai mathla’ ini, seperti dijelaskan sebelumnya qarinah-qarinah (indikasi) dari hadist-hadist Rasulullah tentang shaum Ramadhan dan kesepakatan para Imam Mazhab telah dengan jelas menyimpulkan bahwa wajib atas kaum muslimin dimanapun diseluruh dunia untuk mengawali dan mengakhiri Ramadhan serentak pada waktu yang bersamaan/pada hari yang sama [Hari disini adalah tanggal 1 Ramadhan dimana dalam sistem penanggalan Hijriah (Lunar System) satu hari dimulai dari matahari terbenam(maghrib) ke maghrib esok harinya] atau dengan kata lain disebut “Rukyat Global”.
Akan tetapi kenyataan sejarah mencatat bahwa pada saat itu sejak zaman Rasulullah SAW sarana transportasi, dan komunikasi belum semodern sekarang apalagi jazirah arab begitu luas yaitu seluas 1.200.000 mil persegi sama dengan 4 kali luas Jerman dan Prancis dengan luas seperti itu, maka apabila ingin menyampaikan berita dari sebelah utara ke selatan dengan menggunakan onta diperlukan waktu 7 bulan 11 hari. Sehingga dengan fakta seperti itu memerlukan pemecahan hukum. Dengan demikian wajar apabila Rasulullah sendiri membiarkan penduduk Nejed dan daerah-daerah lain yang jauh dari Madinah berbeda dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan. Demikian juga sikap yang diambil oleh para Khalifah setelah Beliau, apalagi waktu itu luas daerah Daulah Khilafah semakin luas. (lihat Musnad Imam Ahmad VI/18 917).
Tindakan Rasulullah SAW dan para Khalifah tersebut merupakan pemecahan problem yang ada waktu itu, yaitu sulit mengabarkan rukyat di Madinah kepada kaum muslimin yang tinggal ditempat-tempat yang jauh dalam tempo singkat, sehingga terjadi apa yang disebut “Rukyat Lokal”.
Akan tetapi sebagai bukti kekonsistenan Beliau SAW dalam perintahnya mengenai mengawali dan mengakhiri Ramadhan dengan “Rukyat Global”, dan adanya “Rukyat Lokal” hanyalah pemecahan atas fakta yang ada saat itu adalah hadist yang diriwayatkan oleh sekelompok orang Anshar yang mengatakan :
“Hilal Syawal tertutup oleh mendung (hingga penglihatan) kami terhalang, maka kamipun bangun untuk melaksanakan puasa pada hari berikutnya. Beberapa musafir datang ke Madinah menjelang berakhirnya hari (petang hari), lalu mereka bersaksi dihadapan Rasulullah SAW bahwa mereka telah melihat hilal (bulan sabit) pada hari sebelumnya. Maka Nabi SAW memerintahkan mereka (penduduk Madinah) langsung berbuka dan melaksanakan shalat Ied keesokan harinya.” (Lihat Nailul Authar, jillid IV, hal 211).
Jadi perintah Rasul SAW kepada kaum muslimin untuk berbuka saat itu juga - padahal saat itu masih dianggap termasuk bulan Ramadhan – disebabkan adanya berita dari beberapa orang dari luar kota Madinah yang melihat hilal Syawal diluar kota Madinah. Para musafir itu melihat hilal satu hari sebelum mereka tiba di kota Madinah. Dengan demikian jika Rasul SAW berpegang pada “Rukyat Lokal” (rukyat dikota Madinah) mengapa beliau menerima rukyat dari daerah lain bahkan langsung memerintahkan kaum Muslimin berbuka saat itu juga?
Dengan demikian, seperti disebutkan diatas, sebagian kaum muslimin yang berpegang pada pendapat rukyat berdasarkan mathla’ terutama dari kalangan pengikut madzhab Imam Syafi’i syubhat dalil (dalil yang diperselisihkan) yang dijadikan dasar pegangan oleh mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Kuraib, bahwa:
“Ummu Fadhl binti Haritsah mengutusnya kepada Mu’awiyyah di negeri syam, kata Kuraib: “Lalu aku ke Syam dan menyelesaikan keperluan Ummu Fadhl itu. Ketika bulan Ramadhan tiba aku masih berada di Syam dan aku telah melihat bulan pada malam Jumat, kemudian aku kembali ke Madinah diakhir bulan (Ramadhan), ketika itu Abdullah bin Abbas bertanya tentang hilal kepadaku. Ia bertanya: “Kapan engkau melihat bulan?”, kujawab: “Kami melihat bulan pada malam Jumat”, ‘Engkau melihatnya juga?’ tanya Ibnu Abbas. “Ya, juga orang-orang lain melihatnya dan mereka shaum, termasuk Mu’awiyyah pula”. Ibnu Abbas berkata:”Tetapi kami (di sini) melihatnya pada malam Sabtu. Jadi kami tetap shaum sampai genap 30 hari atau sampai kami melihatnya (kembali). Aku bertanya:”Mengapa tidak mengikuti rukyat Mu’awiyyah saja dan ikut shaum?” Ibnu Abbas berkata:”Tidak sebab demikianlah perintah Rasulullah SAW kepada kami.”
Fakta dari hadist ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas telah melakukan ijtihad dalam masalah ini dan menentukan pendapatnya menurut yang beliau pahami dari hadist Rasulullah SAW :”Shaumlah kalian jika melihat bulan (hilal) dan berbukalah (‘Ied) karena kalian melihat bulan.” Seperti yang telah dijelaskan di awal makalah ini.
Tatkala beliau berkata “demikianlah perintah Rasulullah SAW kepada kami” beliau bermaksud menegaskan hadist diatas. Namun demikian ijtihad beliau ini mengandung kesalahan dalam memahami fakta seperti yang dijelaskan diatas, ternyata kekeliruan ini diikuti oleh tokoh-tokoh madzhab Syafi’i.
Apalagi jika konsisten dengan jarak mathla’ yang 120 km, maka dapat dibayangkan setiap jarak 120 km berbeda mengawali Ramadhan, apalagi secara ilmu pengetahuan fakta ini sudah tidak lagi dapat diterima, karena tiap 120 km perbedaan waktu itu hanya 4 menit saja, apalagi jika ada orang berjalan dari utara ke selatan mengkiti garis bujur bumi maka dia akan ada pada daerah waktu yang sama.
Kedudukan Hisab (perhitungan astronomi) dalam Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan
Perlu dijelaskan disini bahwa bagi yang mengikuti hisab dan yang menjadikannya dasar untuk menentukan awal bulan tanpa mengikuti rukyat, maka pendapat mereka masih dapat dikatakan bertolak dari syara’ karena mereka mempunyai dalil yang dimengerti dari sebuah hadist Rasulullah SAW:
”Sesungguhnya kita adalah ummat yang ummi (buta huruf), tidak dapat menulis dan berhitung, maka shaumlah kalian jika melihat bulan dan berbukalah kalian karena melihat bulan.” (Shahih Bukhari jilid IV hal. 108, Muslim no. 1080).
Mereka memahami bahwa ‘illat (sebab munculnya/wujudnya hukum) untuk rukyat karena orang-orang saat itu masih awam, tidak mengerti seluk beluk ilmu astronomi, tetapi jika sudah mampu dalam ilmu hisab, maka tidak perlu rukyat lagi. Ini adalah pendapat yang masih bertolak dari Islam, oleh karena itu tidak boleh kita meremehkan pemahaman orang-orang ini apabila mereka menjadikannya sebagai dasar ijtihad/pemahaman.
Dewasa ini perhitungan di bidang astronomi (hisab) amat akurat dengan tingkat ketelitian yang amat tinggi dengan demikian kaum muslimin dapat memanfaatkan ilmu ini. Dibolehkan untuk memanfaatkan hisab, sebab syara tidak melarang kaum muslimin untuk memanfaatkan/melakukannya, akan tetapi syara’ mengkaitkan shaum, iedul fitri dan ibadah haji dengan rukyat seperti dijelaskan diatas. Terdapat juga pendapat dari kalangan yang berpegang pada hisab saja yang mengatakan bahwa kondisi ummat yang tidak ummi lagi mengkhususkan hanya hisab saja tidak perlu rukyat. Namun berangkat dari pemahaman ushul fiqh, pemahaman itu tidak dapat dijadikan “takhsis” bagi hadist-hadist Rasulullah SAW tentang shaum Ramadhan, sehingga sesuai kaidah ushul fiqh “Hukum yang bersifat umum tetap pada keumumannya sebelum datang dalil yang mengkhususkannya”.
Selain itu dari kalangan mereka juga ada yang beralasan bahwa lafadz “ra’a” asal kata dari rukyat secara bahasa bisa berarti berpikir tidak hanya berarti melihat, dengan demikian berpikir berarti menghitung (hisab). Tapi alasan tersebut dengan sendirinya terbantahkan melalui teks hadist-hadist Nabi SAW diatas karena kelanjutan kalimat hadist itu berbunyi “jika pandanganmu terhalang, maka genapkanlah bilangan syaban itu tigapuluh hari” sehingga dapat kita pahami bahwa rukyat disana berarti “melihat” bukan “berpikir” karena berpikir apa yang terhalang dengan awan?.
Jadi dibolehkan menggunakan hisab untuk mendukung rukyatul hilal sehingga kita dapat mudah mengetahui kapan dan dimana posisi hilal akan tampak dari bumi dengan jelas. Sebagaimana kita boleh menggunakan alat bantu (teleskop kamera infra merah) untuk dapat melihat bulan dengan mudah walaupun terhalang awan. Bahkan dengan ilmu astronomi ini, perintah Rasulullah SAW tentang rukyat yang bersifat global semakin terbuktikan.
Penyatuan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Kesatuan Ummat
Sesungguhnya penyatuan awal dan akhir Ramadhan bukanlah sebab yang akan menyebabkan ummat Islam bersatu, dia lebih merupakan produk dari kesatuan ummat dibawah satu institusi yang bersifat mondial yang dipimpin oleh seorang pemimpin bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Berbedanya kaum muslimin saat ini dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan hanya satu dari sekian ratus mungkin ribu perselisihan dan masalah dari kaum muslimin itu sendiri.
Khusus dalam masalah awal dan akhir Ramadhan ini, perbedaan tidak hanya terjadi pada kelompok yang berpegang pada rukyat dan hisab saja, tetapi diantara kelompok yang rukyat atau hisab di dalam mereka pun terdapat perbedaan dalam melakukan rukyat atau hisab sesuai pemahaman masing-masing.
Maka dengan demikian, walaupun penyatuan awal dan akhir Ramadhan ini dapat dijadikan suatu titik awal penyatuan ummat Islam, tapi tetap harus kita pahami bahwa dia bukan menjadi sebab ummat ini bisa bersatu.
Perbedaan yang ada sekarang lebih disebabkan oleh rasa kebangsaan (nasionalisme) dan sentimen politik yang ada di negeri-negeri kaum muslimin. Walaupun pemerintah/penguasa mereka mengatakan bahwa mereka mengikuti madzhab Imam Syafi’i akan tetapi kenyataannya mereka tidak demikian, karena kalau mengikuti madzhab tersebut maka mathla’ harus berjarak 120 km. Namun mengapa kemudian yang menjadi mathla’ adalah batas-batas teritorial (wilayatul hukmi) masing-masing negara tersebut? Akhirnya mungkin sering terjadi kejadian-kejadian “lucu” terutama di daerah-daerah perbatasan, bisa jadi antar rumah yang berhadapan yang hanya dibatasi oleh pagar namun beda negara mengawali dan mengakhiri Ramadhan berbeda satu hari.
Belum lagi kalau kita sadari bahwa batas-batas teritorial itu hanyalah garis-garis yang dibuat diatas peta oleh penjajah yang mengkotak-kotakkan kita menjadi negara-negara kecil yang tidak berdaya.
Sebagai bukti bahwa tanpa institusi politik yang bertugas menerapkan hukum-hukum Islam (Kiyan Tanfidzi) kita akan sulit bersatu tampak pada kondisi negara kita. Sejak lama telah berdiri Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama yang setiap tahun melakukan sidang itsbat untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan, tapi pada faktanya tetap saja di masyarakat ada perbedaan yang kadang perbedaan itu sangat parah karena Iedul Fitri bisa terjadi dalam 2 bahkan 3 hari yang berbeda. Demikian juga di tingkat ASEAN pernah dilakukan pertemuan antara Menteri-Menteri Agama masing-masing negara untuk penyatuan awal dan akhir Ramadhan, namun hal tersebut tetap sulit dilakukan.
Oleh karena itulah mengapa dalam kaidah Ushul Fiqh terdapat kaidah “Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan”. Manakala otoritas politik pemegang kekuasaan dalam menerapkan hukum Islam ada, dimana seluruh kaum Muslimin tunduk kepadanya, maka tidak hanya awal dan akhir Ramadhan saja yang dapat disatukan, tapi potensi kekuatan SDM, SDA bahkan pasukan dan senjata kaum muslimin dapat bersatu menjadi sebuah kekuatan yang tidak tertandingi untuk menghilangkan kedzaliman di bumi ini.
Bagaimana Kita Harus Bersikap Saat Ini?
Pada saat ini, tatkala kaum muslimin tidak lagi bersatu, namun bercerai berai menjadi hampir lebih dari 50 negara maka sulit kesatuan dalam berbagai hal bisa terwujud. Akan tetapi bukan berati kita tidak dapat menjalankan keyakinan dan pemahaman kita salah satunya mengenai wajibnya mengawali dan mengakhiri Ramadhan serentah untuk kaum muslimin di seluruh dunia.
Apabila pemahaman kita telah terbentuk mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, maka saat ini bagi mereka yang tergabung dalam jamaah-jamaah dakwah, gerakan-gerakan dakwah Islam atau kelompok-kelompok kaum muslimin secara umum dapat membentuk jaringan dengan saudara-saudaranya di nusantara dan di seluruh belahan dunia untuk mencari informasi tentang datangnya hilal dan menyebarluaskannya ke seluruh dunia.
Kecanggihan teknologi informasi melalui telepon, faksimili dan internet memungkinkan kita menerima informasi dari belahan dunia lain dalam waktu yang amat singkat. Beberapa alamat homepage yang dapat kita gunakan untuk mencari informasi tentang hilal adalah www.moonsighting.com.
Namun dalam hal ini tetap kita harus mempunyai dasar pemahaman tentang aspek-aspek astronomis juga pengetahuan tentang kebenaran sumber berita baik perorangan atau lembaga, sehingga kita dapat benar-benar yakin tentang kebenaran berita hilal yang sampai kepada kita.
Demikianlah, permasalahan perbedaan awal dan akhir Ramadhan hanyalah satu dari sekian masalah yang sekarang dihadapi oleh kaum muslimin di seluruh dunia.
sumber
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar