DEMI TANAH KUBUR

Bookmark and Share
Pergi ke pasar pekerjaan rutin setiap hari aku lakukan. Pasar tujuanku kalau tidak Central pasti ke Wanchai. Aku paling suka pergi ke Wanchai, selain pasarnya besar juga lebih dekat dari Admiralty. Dari building rumah majikan naik bus antar jemput turun perbatasan Wanchai dan Admirlaty. Kemudian aku jalan kaki menuju pasar hanya makan waktu tujuh menit.
Saat sampai playground lapangan tempat main basket dan sepak bola aku melihat sesuatu, membuat aku menghentikan langkah seketika. Aku tatap terus gerak-gerik seorang abo ( panggilan nenek ) sedang dorong sesuatu. Dengan kereta dorong penuh dengan koran dan kardus bekas jalan menuju samping lapangan dekat gudang tempat sampah. Rasa keinginanku semakin membuncah, hingga aku mengikutinya sampai tujuan.
Sampai tujuan, aku terus menamati gerak-geriknya. Dia dengan susah payah memindahkan kardus dan koran ke dekat timbangan. Aku langsung paham, dengan yang dilakukan abo. Bahwa abo menjual karus dan koran itu. Aku penarasan ingin tahu kenapa setua itu masih mencari kardus bekas dan dijual. Lalu dimana anak atau saudara? Tanyaku dalam hati.
Dilihat gurat-gurat wajahnya usianya kurang lebih sekitar tujuh lebih. Rambutnya sudah berganti warna putih keemasan. Tubuhnya sedikit agak membukuk tidak tegak lagi. Begitu juga otot-ototnya yang menonjol menantang kehidupan yang penuh liku. Wajahnya tampak ada sorot sedih atau menderita. Mungkinkah dia sedang bahagia? Entah. Aku tidak menjumpai gurat luka di wajahnya.
Rasa ingin tahu tentang kehidupanya semakin menggedor hatiku. Yah, ingin tahu kenapa harus bersusah payah bekerja mencari uang. Selayaknya seorang ibu seusianya di rumah menimang cucu atau sedang santai sambil melihat acara televise. Tapi dia harus bersusah payah mendorong kereta dari took ke took mencari kardus bekas. Kemudian dimana keuarganya, anaknya. Oh, aku jadi berontak sendiri mencari keluarganya.
Aku geli melihat tingkahku sendiri saat membututi dia. Pelan-pelan aku mendekati dia, sedang duduk dianak tangga samping lapangan. Aku tebarkan senyum termanis untuk menyatakan kalau aku ingin kenal dengannya. Yah, ini alat tepat untuk mendekatinya dan ngobrol tentang kehidupannya. Ternyata, dia cantik saat tersenyum. Tampak ada gurat-gurat sisa kecantikannya semasa muda dulu. Gignya yang entah tinggal berapa sedikit membuat pipinya semakin terlihat kempot.
Dengan ramah aku sapa dia. Hmm…. Ternyata dia menyambut sapaanku dengan senang. Akhirnya kita ngobrol banyak tentang kehidupan ini. Dia banyak cerita tentang kehidupannya saat masih muda. Begitu banyak luka yang dia rasakan, oh ternyata di dunia ini masih ada wanita menderita melebihi penderitaanku. Aku menjadi bangga dengan perjuangannya demi menjaga harga diri sebagai seorang wanita. Menurut penilaianku bahwa dia wanita anti akan belas kasihan dari orang lain.
Banyak cerita yang dapat aku ambil hikmahnya. Diam-diam aku juga merasa kasihan dengan kehidupannya. Aku jadi teringat ibuku.. yah ibuku yang kini ku tidak tahu keadaanya karena lama tidak telepon. Dengan susah payah siang dibawah panas terik matahari mencari kardus untuk mengumpulkan uang bersen-sen untuk membeli tanah kubunrannya nanti. Dia mempunyai keinginan bila mati dikubur tempat kuburan yang layak.
Di Hong Kong tanah kuburan beli sangat mahal. Sungguh betapa mulia orang tua tadi, karena tidak ingin menyusahkan anak dan saudara mengumpulkan uang sendiri untuk persiapannya sendiri kelak. Tapi, memang aku selama di Hong Kong sering kulihat orang tua masih giat mencari uang sendiri. Sungguh berjasa pengorbanan seorang ibu itu. semoga Allah menjaga dan selalu memberkatinya, doa dalam hatiku saat meninggalkannya.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar