HIDAYAH CINTA

Bookmark and Share
By : Niswa Maqhia Ilma
“Paman harap bulan depan kamu pulang. Penting!” isi SMS paman bulan kemarin.
Kutatap langit, kosong. Bintang penghuni malam sembunyi dibalik mendung. Tidak akan lama aku menghirup udara tanah airku. Sudah empat tahun aku merantau di negara Andy Lau, segala kerinduan pada paman, bibi maupun saudara lainnya tersimpan rapi dalam hati.


Menurut cerita temanku yang baru cuti, banyak perubahan terjadi. Entah, kenapa aku malas pulang, keinginan menjenguk kampung halaman hilang bersama kesibukan yang ada di Hongkong. Rasa kerinduan tersimpan rapi di kalahkan oleh kebencian yang selama ini masih tersimpan dalam hati. Kebencian pada satu orang, tapi membuatku enggan untuk kembali ke tanah air.
“Mbak Cantik, sebentar pesawat akan mendarat.” Tegur Dewi yang duduk di sebelahku.
“Ehh, iya..ya.. makasih,” jawabku gagap karena kaget.
Kembali kualihkan pandanganku ke luar jendela pesawat. Tampaknya di luar hujan rintik-rintik mengguyur kota Surabaya dan sekitarnya. Kulihat lampu-lampu di jalan raya sekitar juanda berjejer rapi. Aku yakin paman dan bibi sudah menunggu di bandara, berjubel-jubel dengan orang-orang lain yang sama-sama menunggu saudaranya pulang.
“Mbak Cantik, sudah ada yang jemput?” tanya Dewi sambil melipat selimut yang disediakan oleh pramugari pesawat.
“Sudah. Kalau kamu sendiri gimana?” aku balik bertanya sambil kutatap sorot matanya yang memancarkan bahagia.
“Jelas ada. Aku yang jemput keluargaku dan calon suami, Mbak.” Jawabnya dengan wajah rona merah malu.
“Mau nikah, nih! Selamat ya, semoga bahagia,” jawabku enteng.
Kutatap wajahnya yang hitam manis, rambutnya panjang hitam. Berbeda dengan kepulanganku saat ini. Kepulanganku ini kuanggap menuju kematian, mati karena dibunuh, atau mati karena tertekan bathin yang telah menghimpit. Pikiranku semakin tidak tenang setelah aku rasakan getaran roda pesawat menyentuh tanah.
Paman pasti sudah menyambut dengan berbagai macam rencana siap disodorkan padaku. Yah, bagaikan pistol siap diletuskan di kepalaku sehingga aku menurut dengan rencana paman. Aku sudah hafal dengan sifat keras pamanku yang sudah aku anggap orang tua kandungku sendiri.
Pesawat mendarat langsung disambut bus yang siap membawa penumpang ke tempat bagian chek in. Harumnya tanah terguyur hujan menusuk hidung hingga membawa ingatanku kembali di masa kecilku. Kenangan indah yang tidak mungkin aku lupakan hingga kini. Bermain hujan-hujanan bersama kedua orang tuaku, kadang juga main tembak-tembakan. Tapi, semua itu tinggal kenangan yang tak mungkin terulang.
Kenangan indah di saat kedua orang tuaku ada takkan terlupakan. Kejadian tragis kecelakaan lima belas tahun yang silam telah merenggut nyawa kedua orang tuaku. Setelah kejadian itu, aku diangkat menjadi anaknya paman. Pamanku adalah adik almarhum ayahku yang kebetulan tidak mempunyai anak perempuan. Pamanku seorang Pendeta yang keras, tapi hatinya baik kepada siapa saja tanpa memandang kedudukan dan agama.
“Hmm…kenapa semua orang-orang yang ada di bandara tampak hitam dan kurus, yah.” Gumamku dalam hati.
“Ehh.. Mbak…mbak… kok orangnya hitam-hitam dan kurus, yah? Wah, kok pada berubah semua, jangan-jangan nanti calonku juga kurus kering dan hitam.” Celoteh Dewi sambil pandangannya terus mengawasi petugas bandara.
“Maklum, lensa mata kamu biasa melihat orang putih, jadi kaget saat melihat orang yang tidak sering kamu jumpai di Hongkong.”
“He..he..he.. iya…ya…aku paham, Mbak!” Jawabnya dengan tawa terus mengembang di bibirnya yang merah terpoles liptik merah jambu.
Sebenarnya aku sendiri pertama melihat orang-orang di bandara juga heran, tapi aku diam. Entah, kenapa aku tidak seperti biasanya. Bila saat aku di Hongkong banyak bicara dan suka bercanda dengan teman-teman baru kenal. Tapi saat ini aku begitu tidak ada gairah sama sekali, walaupun hanya sekedar berkenalan. Pikiranku hanya kepada paman yang meminta aku segera, pulang tanpa boleh ditunda.
“Mungkinkah, Paman akan menjodohkanku? Oh, tidak..! Aku tidak mau kalau memang semua dugaanku itu benar.
“Siapa yang akan dijodohkan, Mbak? Sejak tadi aku lihat, Mbak bicara sendiri.” Sergah Dewi yang sudah ada di belakangku.
“Iiihh.. rahasia dongg…he..he…
Setelah urusan beres aku segera keluar, ternyata adik keponakan dan bibi yang jemput aku. Segera aku sapa mereka, lalu aku cium tangan bibi yang sudah meneteskan air mata sejak aku masih dalam ruangan chek in. aku lihat ada gurat-gurat sedih dan menyimpan sejuta rahasia yang menghimpit hatinya. Aku merasakan ada firasat buruk yang terjadi dikeluarga paman.
“Bibi, gimana keadaan Paman? Kenapa Paman tidak ikut menjemput? Apakah, Paman marah sama Ningrum?” tanyaku pada Bibi tanpa memberi kesempatan menjawab.
“Aduhh.. Ningrum, gimana Bibi bisa jawab kalau kamu berondong pertanyaan, trus.” Jawab Hendro anak Bibi yang pertama.
“Sudah…sudah….! Sekarang kamu istirahat dulu, perjalanan kita masih jauh.” Ujar Bibi sambil membelai kepalaku yang terbungkus jilbab.
Aku mengikuti saran bibi, tapi mataku tidak terasa ngantuk. Kuarahkan kembali pandanganku ke luar jendela, tapi pikiranku trus dikejar penasaran masalah yang terjadi di keluarga paman. Karena tidak biasanya bibi merahasiakan sesuatu dariku, selama ini bibi selalu terbuka dan cerita bila ada masalah. Tetapi, saat ini seperti ada masalah yang sangat serius menyangkut diriku, buktinya aku diharuskan pulang.
Aku merasa kesulitan menebak apa yang terjadi, sebab semenjak datangnya SMS paman bulan lalu, aku jarang sekali menelepon paman atau bibi walaupun sekedar menanyakan khabar mereka. Keadaan galau begini, membuat aku teringat kak Wahyudi. Dia laki-laki yang aku kenal lewat salah satu sahabat lamaku. Walaupun kita kenal baru beberapa bulan tapi kita sudah akrab sekali. Dia enak bila diajak ngobrol tentang wirasusaha sesuai bakatku. Selain itu dia laki-laki yang suka humor jadi setiap ngobrol selalu tidak kehabisan bahan untuk bicara.
“Ningrum, kamu sekarang banyak perubahan. Nanti bila Paman marah, kamu harus sabar.” Kata Bibi membuyarkan lamunanku.
“Maksud, bibi apa? Aku tidak ngerti, selain itu ini perubahan yang wajar sebab aku muslim jadi bila berjilbab khan tidak aneh, Bibi.” Jawabku
“Sudah…sudah ! kita sudah sampai, nih.” Potong Hendro
Segera aku keluar dari mobil disusul dengan bibi. Sambil nenteng tas aku masuk halaman teras rumah. Dalam empat tahu aku tinggalkan sangat banyak perubahan, kebun di depan semakin indah dan bagus. Pinggiran tembok dibangun pancuran kecil yang menyalur ke dalam kolan ikan. Semua sekeliling pagar depan tertanam banyak macam bunga, dan ada tempat duduk untuk santai bersama keluarga bila saat malam indah datang.
Aku hanya terpaku diam saat masuk kedalam rumah yang serba mewah. Pandanganku langsung ruang dalam, kulihat paman sedang membaca Al kitab. Dengan langkah pelan aku mendekati ruang dalam, biasa untuk kumpul keluaga. Langkahku sedikit gemetar dan kaku, dadaku berdetak kencang setelah langkahku mulai mendekat pada kursi yang di duduki paman.
“Paman, selamat malam?” sapaku dengan sedikit gemetar.
“Malam. Lho…! Sudah sampai rumah, kok aku tidak tahu. Gimana khabar kamu?”
“Alhamdulilah baik saja, Paman. Gimana dengan keadaan Paman sendiri?”
“Paman baik. Sejak kapan kamu berubah tertutup begitu. Apa kamu lupa pesan Paman pada kamu, Ningrum?” tanya Paman dengan nada ketus.
Aku hanya tertunduk diam. Pikiranku kacau tidak dapat berpikir, sedangkan tubuhku terasa letih tidak dapat tertahan lagi. Aku berusaha berpikir mencari jawaban tepat untuk pertanyaan paman, supaya tidak semakin marah dan tersinggung. Dadaku semakin berdetak kencang saat tatapan mataku beradu dengan mata paman yang sejak aku datang menamati caraku berpakaian.
“Biarkan Ningrum istirahat dulu, kasihan dia baru pulang capek.” Kata Bibi yang tahu akan kebingunganku atas jawaban Paman.
“Baiklah, sekarang kamu istirahat sana di kamarmu dulu.” Perintah Paman dingin.
“Iya paman. Selamat malam, Paman…Bibi.” Kataku sambil bangkit berdiri jalan menuju ruang atas.
Semua masih seperti dulu tidak ada yang berubah. Oh, pintu kamarku juga sama. Stiker gambar simbul pramuka masih menempel rapi dengan stiker lainnya. Bergegas aku membuka pintu kamar ingin tahu dalamnya. Oh, masih seperti dulu tidak ada perubahan sama sekali. Semua boneka dan buku-bukuku masih tertata rapi di tempatnya.
“Ya Allah berikan kebahagian dalam keluarga Paman karena kebaikannya padaku.” Doaku lirih.
Segera aku mengabil air wudhu lalu mejalankan sholat I’sya yang tertinggal. Kemudian aku langsung merebahkan badanku di atas kasur untuk melepaskan lelah yang melekat dalam tubuhku. Hingga aku tertidur sampai pagi.
Pagi cerah. Angin semilir masuk dari celah-celah jendela rumah. Ayam tetangga mulai berkokok membangunkanku. Dengan malas aku berusaha bangkit dari tidur pulasku karena capek. Segera aku menuju kamar mandi mengambil air wudhu, lalu melaksanakan tugas menghadap Sang Maha Agung.
“Pagi, Mbak Ningrum. Gimana tidurnya? Ayahku sudah menunggu tuh.” Kata Hendro.
“Pagi Dik Hendro. Iya, lelap sekali semalam. Makasih ya.” Jawabku.
Aku melangkah ke lantai bawah menuju ruang makan. Sambil berdoa dalam hati aku mulai mengatur nafasku supaya tidak berdebar-debar. Ada sedikit gemetar kakiku setelah melihat paman sedang menyantap sarapan pagi di ruang makan. Perasaanku semakin tidak enak setelah mendengar suara seorang laki-laki tidak aku kenal sedang ngobrol di samping rumah dekat dapur bersama bibi.
“Selamat pagi, Paman…!” Sapaku sambil mengambil duduk di samping kiri Paman.
“Selamat pagi, Ningrum. Ayo sarapan dulu, sebentar lagi akan Paman kenalkan dengan seseorang.” Jawab Paman sambil terus mengunyah makannya yang masih ada dalam mulutnya.
Aku diam tak menjawab. Karena aku sudah paham dengan kata-kata paman kalau mau dikenalkan pada seseorang. Pasti laki-laki yang ada di dapur bersama bibi itu, akan di kenalkan padaku. Sekarang aku yakin kalau paman bermaksud menjodohkan dengan laki-laki yang sekarang ada di dapur bersama bibi.
“Hallo… Dik Ningrum, apa khabar?” sapa laki-laki tadi bersama Bibi dari arah dapur tepat di belakangku.
“Ningrum, kenalkan ini anak Pendeta Paulus dari Surabaya. Namanya Yonathan Yuda Markus, dia kuliah di Amerika, lho.” Penjelasan Paman padaku sambil mempersilahkan dia duduk di samping kanannya.
“O’ya…! Wah, hebat dong kalau gitu. Pasti pandai bahasa inggris. Boleh dong ajarin aku?” Jawabku ikut memuji seperti Paman lakukan.
“Ah, aku bukan siapa-siapa. Ini semua berkat kebaikan Tuhan. Tuhan mempercayakan padaku setitik kepandaian untuk aku jaga selama di dunia.
“Betul..! Tapi, menurutku tidak hanya harus dijaga saja, melainkan harus di amalkan kepada orang yang membutuhkannya.” Kataku sambil kulirit wajah Yonathan, sekedar melihat rekasinya.
“Ya harus dong..!” Banyak anak-anak yang putus sekolah karena korban gempa kemarin. Jadi, itu adalah nanggung jawab kita untuk membantu mereka.” jawab Yonathan dengan antusias
Aku sedikit berdetak kagum dengan kata-katanya. Sebab, aku mengira Yonathan adalah laki-laki seperti lainnya yang hanya suka berhura-hura dengan kekayaan orang tuanya. Selain itu tampangnya yang rapi dan cara berpakaian juga sederhana tidak kelihatan kalau sebenarnya dia anak seorang pengusaha kaya.
“Ndok Ningrum, maksud kedatangan Yonathan itu ingin mengenal kamu lebih dekat lagi. Tepatnya menginginkan kamu untuk menjadi mendampingnya kelak,” ujar Paman tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Bukankah begitu, Nak Yonathan?” tanya Paman pada Yonathan yang hanya tersenyum tipis sambil melirik kepadaku.
“Tapi, Paman aku…
“Sudahlah, kalian ngobrol dulu. Paman mau mempersiapkan sesuatunya.” Kata Paman sambil melangkah pergi.
Bibirku kelu, tertutup rapat. Selera makan hilang, roti tawar tinggal sedikit enggan aku masukkan dalam mulut. Dugaanku benar, kalau paman menyuruhku pulang bermaksud menjodohkanku. Tapi, kenapa paman menjodohkan dengan laki-laki yang tidak seiman denganku, padahal paman tahu kalau aku muslim.
“Kak Yonathan, kenapa lakukan ini padaku. Sedangkan Kakak tahu kalau kita tidak seiman,” tanyaku penuh emosi.
“Aku melakukan apa, Ningrum? Aku sendiri juga tidak tahu apa-apa. Papaku hanya menyuruhku pulang tanpa memberitahu apa masalahnya,” jawab Yonathan membela diri.
“Maaf, aku harus masuk kamar. Tidak baik berlama-lama berduaan di tempat sepi, sedangkan kita bukan saudara.” Kataku sambil melangkah pergi.
Semenjak aku tahu maksud paman hatiku gusar, perasaan tidak tenang selalu meyelimuti hari-hariku. Sedangkan rencana pernikahan sudah dekat, tinggal dua hari lagi. Aku mencari jalan keluar supaya pernikahan itu gagal. Tapi kepalaku semakin sakit untuk berpikir.
“Tapi, apa yang harus aku lakukan. Ya Allah, tolong hambaMu ini,” jeritku dalam hati.
Hingga malam tiba, aku belum juga mendapatkan jalan keluarnya. Sedangkan, aku tidak bias keluar dari rumah, kemana-mana selalu dikawal paman. perasaan marah, bosan, sedih berbaur menjadi satu menggerogoti urat nadiku sehingga semangat hiduppun luntur.
“Ningrum, maafkan Bibi sayang. Bibi tidak bisa membantu kamu, Ndok. Kamu tahu sifat pamanmu itu keras, apapun harus dituruti.” Kata Bibi yang tiba-tiba sudah ada di belakangku dengan berlinangan air mata.
“Bibi kenapa ini harus terjadi pada, Ningrum. Bukankah Paman tahu, Bi. Kalau Ningrum dengan Kak Yonathan berbeda kepercayaan.”
Dengan tangis yang tidak dapat dibendung lagi aku tumpahkan di pangkuan bibi. Hingga aku tertidur dengan lelap. Dalam dekapannya. Kini aku bagaikan bayi yang belum bisa melakukan apa-apa selain menagis dan menangis. Sedangkan hari pernikahan sudah diambang pintu.
Pagi cerah. Tidak ada mendung yang tampak. Terdengar burung berkicau di taman depan. Terdengar jelas di telingakku seolah mentertawakan kekalahanku untuk meluluhlantakkan hati paman yang keras bagaikan batu.
“Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Pernikahan itu tinggal beberapa jam lagi. Tolong hambaMu, berikan jalan keluarnya.” Doaku lirih dengan linangan air mata.
“Tok..tok…tok…! suara pintu kamarku diketuk dari luar.
“Ningrum, cepat buka pintu. Ini bibi sayang, bukakan pintunya.” Pinta Bibi mengiba.
“Tidak…! Maafkan Ningrum. Aku tidak akan keluar kamar, aku tidak akan pakai baju pengantin ini dan aku tidak mau menikah dengannya, Bi.”
“Ningrum, Bibi tahu apa yang kamu rasakan. Tapi, Bibi minta jangan membuat keluarga Paman malu dihadapan keluarga besar Pendeta Paulus.”
“Lalu bagaimana dengan perasaan, Ningrum. Paman dan Bibi tega menghancurkan hidup Ningrum. Lebih baik Ningrum mati daripada menikah dengan laki-laki tidak seiman denganku.”
Tangisku semakin keras, semua barang aku banting. Hatiku hancur dan kecewa dengan keputusan pamanku yang tanpa meminta ijin padaku. Mendengar suara barang aku banting, bibi berhenti membujukku. Hingga akhirnya melangkah menjauh dari kamarku. Tidak berapa lama ada suara langkah kaki mendekat ke pintu kamarku.
“Dik Ningrum, aku Yonathan. Tolong bukakan pintunya. Kita bicara baik-baik supaya masalah cepat terseleseikan.” Kata Yonathan dengan hati-hati.
“Untuk apa kamu datang kesini. Tidak ada yang perlu kita bicarakan, bahwa masalah sudah jelas aku tidak mau menikah denganmu,” jawabku penuh amarah.
“Aku tahu. Jangan kwatir kita tidak jadi menikah, asal bukankan pintu dulu.” Rayu Yonathan pelan.
Hatiku bimbang. Dengan permintaan Yonathan untuk membukakan pintu. Sedangkan perasaan takut semakin menjalar menguasai perasaanku. Keringat dingin keluar dengan deras, sedangkan dadaku berdetak kencang. Entah apa sebabnya, perubahan ini terjadi begitu saja setelah mendengar suara halus Yonathan.
“T…tapi Kak Yonathan harus bersumpah dulu, bahwa kita tidak jadi menikah.” Mintaku mengiba.
“Baiklah. Aku bersumpah atas nama Tuhan Allahku. Bahwa aku tidak jadi menikah dengan Dik Ningrum. Bila aku tetap melanggar sumpahku, biarlah Tuhan akan menghukumku.” Sumpah Yonathan dengan tegas.
Setelah aku mendengar sumpahnya, lalu pintu kamar aku buka pelan-pelan. Kudapati Kak Yonathan berdiri mematung tepat di depan pintu kamar. Wajahnya sayu dan kusut terlihat kalau semalam tidak tidur.
“Dik Ningrum, segera ambil beberapa bajumu dan paspor serta tiket. Sebelum Bibi datang kemari,” pinta Yonathan dengan wajah serius.
“Emang, aku mau dibawa kemana?” tanyaku.
“Sudahlah, turuti saja perintahku. Bila kamu ingin selamat dari pernikahan ini,” minta Yonathan dengan sedikit memaksa.
Tanpa menunggu perintah yang ketiga, aku langsung ikuti saja perintahnya. Dengan cepat aku ambil beberapa baju dalam almari dan tidak lupa paspor dan tiketku. Dengan bantuan Kak Yonathan tidak memakan waktu lama semua telah beres. Satu koper kecil penuh dengan bajuku sedangkan tas kecil berisi dompet dan surat-surat penting untuk keberangkatanku kembali ke Hongkong.
“Ok, semua sudah beres. Ayo kita pergi menjauh dari rumah ini dulu.” Perintah Yonathan sambil mengangkat koperku.
Aku mengikuti saja perintahnya. Dengan melewati pintu belakang aku dan Yonathan pergi meninggalkan rumah. Setelah berhasil keluar dari pekarangan, Yonathan mengajakku menuju mobil yang terpakir di samping rumah. Aku mengikuti langkahnya. Ternyata dalam mobil sudah ada temannya Yonathan.
“Kita kemana malam ini?” tanyaku penasaran.
“Aku antar kamu ke bandara Juanda. Segera kembali ke Hongkong masalah Paman biarkan aku yang menghadapinya.” Jawab Yonathan tegas.
“Tapi, aku kwatir kalau….
“Sudah jangan dipikirkan. Kenalkan tuh temanku Lina dan suaminya Sugeng, mereka juga muslim sama seperti kamu. Malam ini, mereka yang akan mengantar kamu sampai bandara. Aku minta maaf tidak bisa ngatar kamu, hati-hati di jalan,” pesan Yonathan dengan tatapan penuh makna.
“Terima kasih, Kak Yonathan maafkan aku,” jawabku dengan merasa bersalah.
“Sama-sama. Ningrum tolong baca surat ini diperjalanan nanti. Selamat jalan,” kata Yonathan sambil memberikan surat bersampul merah hati, kemudian dia beranjak pergi meninggalkan mobil.
Sugeng menjalankan mobil meninggalkan kota Madiun menuju Surabaya. Aku masih diam dengan tangan memegang surat, hatiku gamang antara dibaca atau tidak surat itu. Rasa ingin tahu isi surat semakin membuncak. Akhirnya pelan-pelan aku buka amplopnya.

Buat : Dik Aditia Ningrum Andani
Assalam’ualaikum wr wb
Dik, sebelumnya Kakak minta maaf, dengan kejadian ini. Sebenarnya saya juga tidak tahu apa-apa dengan rencana Paman dan keluarga saya. Saya hanya diperintahkan pulang tanpa dijelaskan alasannya. Tapi memang dua bulan sebelumnya saya jujur pada keluarga bahwa saya suka sama adik setelah melihat fotomu yang memakai jilbab.
Saya mengerti dan tahu alasan adik marah, tapi memang adik punya hak bila menolak penjodohan ini. Tapi ini bukan penjodohan, melainkan memang saya benar-benar mencintai adik sejak dua bulan lalu. Jadi bila adik menolak, ini juga hak adik, saya tidak apa-apa. Saya doakan adik sukses dan hati-hati di Hongkong tetap Istiqomah dalan ibadah, ya.
Dik Ningrum, sebenarnya kakak sudah muslim, tapi belum berani memberitahu Papa dan Mamaku. Adik tahu khan kekerasan mereka? jadi saya harap adik jangan bilang dulu. Kakak tetap sayang dan menunggu hatimu terbuka buat kakak. Selamat jalan.
Wasalam’ualaikum wr wb
Muhammad Yonathan Aziz

“Alhamdulillah. Kenapa tidak bilang sejak kemarin saat ketemu, ya?”
“Dik Ningrum, bicara sama siapa?” tanya Lina sambil menoleh kebelakang.
“Mbak, apakah benar Kak Yonathan sekarang muslim?” tanyaku pada Mbak Lina.
“Iya, Dik Ningrum. Sudah sebulan, semenjak melihat foto Adik. Dia sangat menyayangimu, lho.” Ujar Mbak Lina tanpa basa-basi lagi.
“Mbak Lina, salam buat dia. Katakan kalau memang aku jodohnya tidak akan pergi kemana-mana.” Kataku.
Aku tatap langit yang indah terhias sinarnya bintang. Sambil hati memanjatkan doa padaNya. Karena hanya Dia yang maha mengetahui.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar