Pemasangan bracket pada gigi atau yang lebih dikenal dengan kawat gigi alias behel adalah sebuah cara yang saat ini lazim dipakai untuk memperbaiki susunan gigi yang tidak rapih. Tapi tidak banyak orang yang tahu apalagi sadar bahwa penggunaan kawat gigi tidak hanya berhubungan dengan asal gigi rapih (estetika). Lebih dari sekadar rapih, penggunaan kawat gigi juga dimaksudkan untuk memperbaiki posisi gigi dalam fungsi pengunyahan makanan, memperbaiki penampilan wajah dan juga memperbaiki masalah lingual (seperti kesulitan dalam pengucapan huruf ‘s’) karena gigi depan bagian atas tidak mengatup sempurna dengan bagian bawah (bahasa kerennya: open bite). Penggunaan kawat gigi juga berhubungan dengan kesehatan; di mana gigi yang berjejal akan menyulitkan pembersihan plak dan sisa makanan, sehingga meningkatkan resiko terjadinya gigi berlubang dan peradangan gusi.
Gambar di atas adalah contoh foto gigi pasien sebelum dan sesudah perawatan orthodonti. Tanda panah merah menunjukkan gigi yang harus dicabut. (properti: drg. Vera Susanti Z, Sp.Ort).
Maraknya tren penggunaan kawat gigi dan ditambah oleh ketidaktahuan masyarakat awam membuat banyak orang ‘berani’ mempertaruhkan aset tubuh yang tak tergantikan itu dengan mempercayakan pemasangan behel pada sembarang orang(ingat, gigi orang dewasa yang telah tanggal atau rusak tidak akan tergantikan oleh gigi baru). Tren pemakaian behel yang dikaitkan juga dengan gaya hidup dan fashion membuat banyak orang nekat memakai walau sebenarnya tidak memerlukannya. Lebih gawat lagi, sebagian di antara mereka malah nekat memasang di tempat yang asal murah yang penting gaya!
Pada saat ini, pemasangan kawat gigi boleh dibilang sebagai bisnis yang menggiurkan. Pemasangan kawat gigi yang seharusnya hanya dilakukan oleh dokter gigi spesialis orthodonti (drg. Sp.Ort) pada kenyataannya dikerjakan juga oleh dokter gigi spesialis lainnya, atau malah oleh seorang dokter gigi non spesialis (general practitioner). Lebih edan lagi, mereka yang bukan dokter gigi pun nekat buka ‘praktek’ di pinggir jalan dengan label Ahli Gigi. Terima pasang kawat gigi.
Gigi Yang Baik
Karena saya bukan dokter gigi, tentu saya tidak membicarakan masalah penyakit gigi dan kawan-kawannya. Dalam kacamata yang sederhana kita bisa anggap bahwa gigi yang baik adalah gigi yang bersih, tidak bolong, tidak ada yang ompong, serta menjalankan tugasnya dengan sempurna.
Bagaimana tuh gigi yang sempurna menjalankan tugasnya? Tugas utama gigi untuk menggigit dan mengunyah makanan bukan? Cara termudah untuk memeriksanya adalah coba katupkan gigi rapat-rapat pada posisi yang paling nyaman (ngga dibuat-buat dengan menggeser rahang ke arah tertentu. just relax.). Perhatikan gigitan gigi mulai dari geraham atas bertemu geraham bawah secara sempurna untuk mengunyah, taring atas berpasangan dengan taring bawah untuk mengoyak, gigi seri atas bertemu dengan gigi seri bawah untuk menggigit. Normalnya rahang bawah akan sedikit lebih mundur dibanding rahang atas.
Pada kasus rahang bawah lebih maju dibanding rahang atas, orang awam sering menyebutnya sebagai cakil, atau cameuh, dan sejenisnya. Sebaliknya, bisa saja yang terjadi ternyata adalah rahang atas terlalu maju dibanding rahang bawah, sehingga gigi seri atas tidak bisa bertemu dengan gigi seri bawah, alias protusif. Pada kasus cakil dan protusif, sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa yang mengerjakan haruslah dokter gigi dengan spesialisasi orthodonti alias orthodontist.
Pengalaman Pribadi
Pada waktu SMP dulu (tahun 1989), keinginan menggunakan kawat gigi yang tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai membuat saya ‘tersasar’ ke seorang spesialis bedah mulut. Waktu itu sebenarnya saya sudah berjalan (mungkin) ke arah yang benar, yaitu ke rumah sakit umum daerah. Tapi waktu tanya-tanya di poli-gigi, salah seorang perawatnya menyebut kalau mau pakai kawat gigi dengan drg. X, Sp.BM saja… Datang saja ke tempat prakteknya. Akhirnya saya pakai kawat gigi dengan sang spesialis bedah mulut. Waktu itu saya ‘kehilangan’ 2 buah gigi geraham kecil yang persis di belakang gigi taring, di sebelah kanan, bagian atas dan bawah. Semua gigi perlahan-lahan mulai digeser ke arah kanan, untuk mengisi ‘kekosongan’ yang diakibatkan hilangnya 2 buah gigi tersebut.
Hampir 2 tahun setelah perawatan memang sekilas gigi bisa dibilang rapih. Tapi kalau dilihat2 dengan seksama terlihat bahwa garis tengah gigi (di tengah-tengah gigi seri atas dan bawah) tidak terletak di tengah-tengah wajah, pada arah garis imajiner jika wajah kita dibagi 2 secara simetris. Coba-lah senyum ‘nyengir’ di depan cermin, perhatikan apakah garis tengah gigi Anda persis segaris dengan garis tengah wajah, yang ditarik dari titik tengah di antara 2 alis mata melewati puncak hidung dan dagu. Jadi kalau dilihat-lihat, gigi saya waktu itu miring ke kanan. Garis tengah gigi tidak persis segaris dengan garis tengah wajah (imajiner). Lambat laun juga dirasa gigi kembali “bubar jalan”. Sedikit demi sedikit mulai bergerak lagi dan kembali terlihat berantakan pada gigi bawah dan jadi “gigi bobo” pada gigi atas.
Pada waktu kuliah di Bandung, kembali saya mencoba mengulangi perawatan gigi menggunakan behel kembali. Waktu itu saya mendatangi klinik yang ada di kampus. Lagi-lagi oleh perawat yang ada direferensikan untuk datang kembali pada jadwal praktek dokter gigi yang menurutnya biasa mengerjakan pemasangan kawat gigi. Untuk kedua-kalinya, di tahun 1997 saya kembali memakai kawat gigi. Kali ini saya harus merelakan kembali 2 (dua) buah gigi geraham kecil yang di belakang gigi taring, kali ini yang di sebelah kiri, atas dan bawah.
Kali ini saya tidak tahu sebenarnya yang mengerjakan gigi saya ini seorang orthodontist atau spesialis lainnya? (mungkin saja lagi-lagi spesialis bedah mulut, atau prostodontist, atau periodontist, atau malah dokter gigi anak? hehehe)…. atau bisa saja dia ternyata seorang dokter gigi biasa alias GP? Yah, sama seperti orang awam pada umumnya, waktu itu saya sama sekali tidak perduli dan tidak mencari tahu. Bahkan berkali-kali kontrol gigi dengan rutin pun saya tidak pernah mencari tahu. Sampai sekarang pun saya juga tetap tidak tahu apa kompetensi dokter gigi saya waktu itu??! (Padahal sudah 13 tahun berlalu).
Singkat cerita, lagi-lagi hasil perawatan tersebut adalah nol besar. Memang waktu itu gigi saya rasanya rapih kembali. Tapi lagi-lagi seiring dengan waktu kembali terasa bergerak dan cenderung ‘rusak’ kembali.
‘Kesalahan’ bentuk gigi tersebut baru saya sadari dan pahami ketika menunjukkan susunan gigi pada seseorang yang kelak menjadi istri saya (drg. Vera Susanti Z, Sp.Ort). Waktu itu dia sedang mengambil spesialisasi Orthodonti di Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Universitas Indonesia. Di situ saya baru sadar bahwa gigi saya tidak menutup sempurna kalau sedang menggigit. Konsekuensi paling sederhana dari kondisi ini tentu adalah waktu mengunyah makanan tidak sempurna. Akibatnya tanpa disadari saya sering hanya menggunakan sebelah sisi untuk mengunyah makanan (geraham sebelah kanan saja yang bisa menggigit, sedang sebelah kiri tidak menggigit), sedangkan sebelahnya lagi tidak melakukannya. Konsekuensi lainnya adalah lagi-lagi garis tengah gigi juga tidak persis di tengah… Saya sadari juga bahwa ternyata ketika saya membuka mulut (rahang) lebar-lebar lalu menutup kembali kadang terdengar bunyi klek pada pangkal rahang dekat telinga. Serta beberapa kesalahan lain yang harus dikoreksi. Akhirnya, untuk ketiga-kalinya saya menggunakan kawat gigi, kali ini pada trek yang benar. Karena walau dikerjakan oleh orang yang sedang belajar untuk menjadi orthodontist, perawatan gigi saya dilakukan di kampus UI di bawah supervisi dokter-dokter spesialis yang benar, bahkan yang sudah bergelar profesor (Prof. drg. Faruk Husin, Sp.Ort, yang kemudian juga berkenan menjadi saksi pada pernikahan saya).
Prosedur Pemasangan Kawat Gigi yang Benar
Dari pengalaman yang sudah-sudah, sekali ini saya baru merasa bahwa pemasangan kawat gigi mengikuti sebuah proses yang secara teknis bisa diterima. Dulu ketika terjadi kesepakatan harga antara calon pasien dan dokternya, langsung saja diputuskan untuk pasang. Langsung pasang cetakan gigi, lalu melihat sekilas apakah ada gigi yang perlu dicabut atau tidak. Paling lambat 2 minggu kemudian gigi kita sudah bergaya dengan bracket melintang.
Pada prosesi pemasangan kawat gigi yang dilakukan oleh seorang orthodontist, proses diawali dengan pemeriksaan secara visual. Struktur gigi sang pasien dilihat dengan mata telanjang, untuk menentukan apakah penggunaan bracket memang disarankan atau tidak. Jika ya, jenis bracket seperti apa yang sesuai dengan kasus gigi pasien.
Proses selanjutnya pasien harus melakukan foto rontgen gigi, untuk melihat struktur gigi di dalam gusi. Pada beberapa kasus foto rontgen ini juga berguna untuk menemukan gigi yang tersembunyi (gagal keluar) karena berbagai sebab. Keberadaan benda keras (gigi) di antara akar-akar gigi yang lain tentunya akan menjadi penghambat gerak gigi yang lain. Lebih celaka lagi, bisa saja keberadaan gigi yang terpendam itu bisa menimbulkan akibat-akibat lain, termasuk yang terkait dengan kesehatan tubuh.
Jika ternyata terindikasi ada gigi yang seperti itu, seorang orthodontist akan meminta bantuan dokter gigi spesialis bedah mulut untuk melakukan operasi guna mengeluarkan gigi itu. Tergantung juga dengan tingkat masalah yang dihadapi, sebisa mungkin gigi yang dikeluarkan dengan cara memasang bracket dan ditarik perlahan-lahan selama proses perawatan kawat gigi. Jika kondisinya ekstrim, gigi tersebut akan dicoba untuk dikeluarkan langsung, lalu dipasang kembali pada gusi dengan posisi yang benar. Jika tidak memungkinkan, barulah pasien harus “say goodbye” ke gigi tersebut. Sepanjang yang saya ketahui dalam 2 tahun terakhir ini saja istri saya sudah pernah menemukan beberapa kasus yang seperti ini. Jadi hal seperti ini ngga aneh-aneh amat. Pada beberapa orang ternyata memang tidak semua gigi dewasanya tumbuh sempurna. Jadi, jika ternyata Anda memasang kawat gigi pada orang yang tidak meminta foto rontgen terlebih dahulu, sudah bisa dipastikan dia ngawur!
Selain foto rontgen, pasien juga harus difoto menggunakan kamera biasa. Orthodontist memerlukan foto pasien dalam beberapa pose; tampak depan diam, tampak samping diam, tampak depan senyum lebar, tampak samping senyum lebar. Selain itu dibutuhkan juga foto gigi pada rahang bawah saja, foto gigi pada rahang atas saja, foto gigi penuh dalam posisi menggigit sempurna. Foto-foto ini tidak hanya digunakan sebagai dokumentasi dan pembanding ketika proses perawatan sudah selesai, tetapi juga digunakan sebagai referensi untuk ‘melihat’ apakah ada kesalahan struktural pada bentuk wajah yang diakibatkan oleh susunan gigi pasien, misalnya wajah tidak simetris, atau monyong. Jika pada waktu memasang kawat gigi Anda tidak difoto dengan pose-pose tersebut, lagi-lagi itu artinya Anda salah kamar!
Ingat, salah satu hasil akhir yang harus dicapai dari perawatan orthodonti adalah membuat gigi bisa menjalankan fungsi kunyah dengan baik dan benar. Secara sederhana boleh diterjemahkan bahwa hasil akhir perawatan antara gigi-gigi di rahang atas haruslah bisa menggigit sempurna dengan gigi-gigi di rahang bawah. Artinya, tidak mungkin perawatan hanya pada gigi atas saja buat gaya-gayaan! Jika orang yang memasangkan kawat gigi hanya pada atas saja, banyak-banyaklah berdoa, karena itu sudah jelas si pemasang saja tidak paham fungsi perawatan.. hanya mengejar order
Variasi Harga
Salah satu alasan kenapa ada banyak orang yang nekat pasang kawat gigi di pinggir jalan adalah karena harga yang lebih murah. Seringkali faktor harga murah ini hanya dicerna sebagai akibat lokasi tempat praktek tukang gigi yang hanya di kios alakadarnya, dibanding dengan tempat praktek dokter gigi yang lebih ‘mentereng’. Pada alternatif lain, bisa saja yang diadu adalah sesama dokter gigi. Pasang di dokter gigi spesialis orthodonti lebih mahal dibanding pasang di dokter gigi biasa.
Dari kacamata awam saya cuma bisa ajak mencerna hal sesederhana mungkin. Harga sepeda motor saja bervariasi. Motor buatan Jepang acapkali kalah bersaing dengan Motor buatan Cina jika dilihat dari faktor harga. Jika cuma karena harga dan asal punya motor, bisa dipastikan motor cina-lah yang dipilih. Tapi coba lihat, ada banyak orang yang mengerti bagaimana kualitas dari motor cina, akan tetap bertahan untuk menabung dan mengupayakan minimal motor Jepang lah yang harus mereka beli, bukan motor cina. Artinya, jika orang sudah paham soal kualitas, harga motor Jepang yang lebih mahal ngga ada masalah. Di lain sisi, ternyata motor Jepang juga kalah jika kualitas jika diadu dengan motor buatan Eropa, BMW misalnya. Singkat kata, seperti halnya membicarakan sepeda motor secara generik, begitu pula ketika kita bicara kawat gigi. Ada macam-macam kelas dan harga. Inilah titik awal lain yang harus diketahui oleh calon pengguna. Ada buatan Amerika, banyak pula yang made in China!
Sebagai ilustrasi tambahan, anggap saja hanya ada 2 pilihan barang untuk kawat gigi, A dan B, yang akan digunakan untuk merapihkan gigi seorang pasien dengan kasus yang sulit. Kawat yang A lebih murah di harga awal, misal X rupiah. Harus kontrol 3 minggu sekali. Perawatan bisa lebih dari 3 tahun. Sedangkan kawat B harganya ternyata 2x lipat dari A, jadi 2X rupiah. Harus kontrol 6 minggu sekali. Perawatan bisa diharapkan setahun selesai. Silahkan saja berhitung berapa biaya kontrol dan waktu yang bisa dihemat dengan menggunakan kawat yang B. Ini sekedar ilustrasi sederhana. Jangan lupa pepatah “ada harga ada kualitas” dan “harga ngga pernah bohong”.
Awas Celaka
Secara mekanika, penggunakan kawat gigi pasti akan dapat menggeser susunan gigi yang ada sekarang. Gigi geligi yang ada akan dipaksa mengikuti lengkungan kurva kawat gigi yang tentunya berbentuk ideal. Masalahnya, apakah si pemasang memiliki cukup ilmu terkait (termasuk mekanika) untuk menentukan arah pergeseran yang benar dan pas.
Pada pemasangan kawat gigi yang dilakukan oleh orang yang telah cukup ilmunya, susunan gigi bisa dibuat rapih tidak hanya karena susunannya pada arah bersebelahan, tapi juga tinggi rendahnya gigi yang satu dengan lainnya. Kesalahan arah gerak bracket misalnya bisa saja membuat gigi seri Anda tidak sama tinggi rendah-nya! Sebuah kasus tragis yang pernah dijumpai pada seorang pasien yang ingin pasang ulang kawat gigi adalah kenyataan bahwa ternyata giginya pernah ‘dipaksa’ rata tingginya dengan cara dikikir! Percaya atau tidak, konon dia sebelumnya memasang kawat gigi pada seorang dokter gigi (yang pasti bukan Sp.Ort… karena tidak mungkin hal seperti itu dilakukan oleh orthodontist). Dengan kegilaan semacam itu, sebenarnya lebih meyakinkan kalau dia mengaku bahwa yang pasang adalah ahli gigi di pinggir jalan.
Kembali lagi ke soal perlu tidaknya ada gigi yang dicabut dalam proses perawatan orthodonti. Jika memang dari pemeriksaan visual terlihat tidak ada ruang gerak tersisa untuk merapihkan susunan gigi, memang seorang ahli orthodonti akan melakukan proses ekstraksi (bahasa kerennya untuk pencabutan gigi). Kodratnya, yang akan dicabut adalah gigi geraham kecil yang terdepan. Hasil akhir yang diharapkan dari perawatan orthodonti tidak hanya asal terlihat rapih, tapi juga gigi berfungsi secara sempurna untuk mengunyah makanan. Jangan lupa, gigi juga harus simetris. Pada prakteknya tidak selalu pula gigi harus dicabut di kedua sisi, kanan dan kiri. Untuk kasus tertentu dengan lengkung gigi asimetris perlu dilakukan pencabutan gigi hanya pada satu sisi. Yang penting hasil akhirnya nanti gigi harus jadi simetris. Kadangkala ada pasien ‘bandel’ yang menolak untuk dicabut giginya, padahal orthodontist menyatakan bahwa ada giginya yang harus dicabut. Untuk yang ‘bandel’ seperti ini ya siap-siap saja giginya ngga akan benar-benar ‘beres’. Kembali ke gambar di atas, pada contoh kasus gigi dalam gambar tersebut sangat mungkin non-orthodontist akan mencabut gigi lain (bukan yang ditunjuk oleh tanda panah merah) untuk mempermudah pekerjaan yang mereka lakukan. Padahal gigi yang mungkin dicabut tersebut adalah gigi seri atau gigi taring!
Cerita soal perlu tidaknya pencabutan gigi ini, ada sebuah kasus menarik. Mungkin karena tingkat kesulitan kasus gigi yang dimiliki oleh pasien, atau karena mau ambil mudahnya saja, ada seorang pasien yang dicabut gigi taringnya!!! Sengaja saya kasih tanda seru tiga.. Fungsi gigi taring adalah fungsi yang tak tergantikan. Gigi taring digunakan untuk mengoyak makanan. Jadi kalau gigi taring dicabut, tentu pasien akan mengalami masalah waktu makan. Minimal waktu harus mengoyak makanan dia hanya bisa menggunakan sebelah gigi taring yang masih lengkap (di sebelah kiri saja atau sebelah kanan saja). Celakanya, setelah susunan gigi dianggap rapih, orang yang melakukan perawatan gigi pasien ini melakukan aksi ‘sulap’ dengan mengikir gigi geraham kecil bagian depan untuk menggantikan gigi taring! Prosedur semacam itu tidak akan pernah terjadi jika yang melakukan adalah orang yang mengerti fungsi masing-masing gigi dan mengerti apa yang harus dilakukan dalam proses perawatan orthodonti yang benar. “Perawatan gigi yang salah bisa menyebabkan fungsi gigi rusak dan masalah itu biasanya baru bisa dirasakan setelah sekian lama memakai kawat gigi”, ujar Prof. Dr. Eky Soeria Soemantri, Sp.Ort, dokter ahli orthodonti dan dosen di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung.
Kesimpulan
Penggunaan kawat gigi ngga hanya sekedar soal fashion atau gaya-gayaan… Ngga juga sekedar asal rapih. Rapih saja tidak cukup. Gigi harus bisa berfungsi untuk mengunyah dengan sempurna. Gigi atas harus bertemu dan menggigit dengan baik bersama gigi bawah. Kelainan pada gigitan (istilah kerennya maloklusi) bisa diakibatkan karena susunan gigi yang berantakan, atau karena kesalahan bentuk rahang, atau kombinasi keduanya.
Perawatan orthodonti tidak hanya sekedar membuat gigi asal rapih demi estetika, tapi juga harus dapat memperbaiki fungsi kunyah. Perawatan yang dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami ilmu orthodonti dapat memperbaiki kesalahan bentuk/posisi rahang. Perbaikan dari susunan gigi dan rahang juga akan mempengaruhi bentuk wajah secara keseluruhan. Tanpa ilmu yang benar, bisa saja dokter gigi atau tukang gigi malah membuat wajah Anda menjadi aneh! Mereka yang tidak mengerti ilmu orthodonti (atau hanya mengetahui sepotong-sepotong) paling top hanya akan dapat membuat gigi pasien terlihat rapih, tapi belum tentu pas posisinya untuk menggigit antara gigi atas dan gigi bawah. Lebih celaka lagi, bisa membuat wajah pasien berubah ke arah yang tidak diharapkan (kalau ngga mau disebut malah jadi makin jelek..).
Seseorang yang telah berpredikat dokter gigi dan ingin melanjutkan pendidikan menjadi dokter gigi spesialis orthodonti akan menghabiskan waktu sedikitnya 3 (tiga) tahun untuk belajar mengenai ilmu orthodonti saja. Sedangkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan spesialis orthodonti hanya berkesempatan mengenal ilmu orthodonti sekilas waktu kuliah. Itu pun perlu dicatat bahwa mereka hanya mempelajari penggunaan alat orthodonti lepasan, tidak diajarkan mengenai perawatan orthodonti menggunakan alat orthodonti cekat alias behel.
Seorang tukang gigi (istilahnya techneker) di pinggir jalan yang sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan formal sebagai seorang dokter gigi. Bayangkan saja, seseorang yang lulus pendidikan sarjana pada Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi saja tidak langsung berpredikat sebagai dokter atau dokter gigi. Mereka harus melewati fase untuk mendapatkan status profesi tersebut. Nah, apa pun alasannya, walau katanya si tukang gigi sudah pernah belajar tentang kawat gigi dan sebagainya, tetap saja dia tidak berhak secara keilmuan dan profesi untuk berpraktek sebagai orthodontist. Hal serupa juga untuk dokter gigi yang tidak mendalami orthodonti pada program pendidikan dokter gigi spesialis orthodonti.
Nah selanjutnya tinggal dicerna oleh calon pengguna bracket, pasang kawat gigi dengan dokter gigi non spesialis orthodonti saja sangat tidak dianjurkan, bagaimana dengan praktek “ahli gigi” yang sekarang marak. Sebagian masyarakat yang ngga tahu menahu soal perawatan orthodonti dengan baik banyak yang menganggap remeh masalah ini. Penggunaan alat-alat kedokteran gigi yang tidak memenuhi standar kesehatan tentunya akan berbahaya bagi kesehatan pasien.
Asal tahu saja, dokter gigi beresiko tertular penyakit dari pasiennya, setidaknya bisa melalui air liur atau darah yang keluar dari gusi pasien. Untuk meminimalisir resiko tersebut dokter gigi wajib menggunakan sarung tangan. Sarung tangan ini hanya boleh digunakan sekali untuk 1 pasien. Artinya, tiap ganti pasien dokter harus ganti sarung tangan. Tujuannya agar jangan sampai virus yang mungkin dibawa oleh pasien sebelumnya tertular ke pasien berikutnya gara-gara si dokter tidak ganti sarung tangan. Begitu juga dengan alat-alat kedokteran gigi yang dipakai. Semua harus disterilisasi menggunakan alat sterilisasi khusus, sebelum boleh dipakai pada pasien lain. Nah, dari hal yang sepertinya kecil ini saja silahkan dibayangkan apa yang akan terjadi jika peralatan orthodonti yang digunakan oleh tukang gigi tanpa proses sterilisasi tiap kali ganti pasien? Alat-alat tersebut dicuci di air yang mengalir setiap kali ganti pasien saja sudah bagus. Walau jelas itu saja tidak cukup. Soal sarung tangan, jangan harap tukang gigi pakai. Kalau pun pakai, sangat mungkin satu sarung tangan dipakai berpuluh kali. Kenapa? Bayangkan saja jika sekali perawatan kawat gigi di tukang gigi pasien hanya diminta bayar RP 30.000, komponen sarung tangan saja sudah ‘memotong’ budget sebesar Rp 5.000! Hitungan ekonomisnya ngga masuk Baru dari sudut pandang kemungkinan terpapar penyakit (termasuk HIV/AIDS lho!!) resiko yang dihadapi oleh pasien tukang gigi saja sudah berat. Apalagi ditinjau dari berbagai resiko kesalahan prosedur pemasangan dan perawatan orthodonti yang dilakukan tanpa pengetahuan memadai.source
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar